Pernah melihat meme tentang hubungan antara seorang peminjam uang dengan orang yang meminjamkan? Ketika si peminjam memohon untuk mendapatkan pinjaman, ia berlutut di depan orang yang diharapkannya akan memberinya pinjaman. Kemudian, terjadi gambar yang sebaliknya, orang yang meminjamkan berlutut memohon agar si peminjam mengembalikan uangnya.
Di bank pun kurang lebih sama, bank harus telaten menagih kepada para nasabahnya yang menerima kredit. Sebelum permohonan kredit disetujui pihak bank, calon peminjam akan gigih melengkapi semua persyaratan serta menjalin komunikasi yang intens dengan petugas perkreditan di bank tersebut. Intinya calon nasabah ini berusaha keras agar ia dinilai layak diberikan kredit.
Namun, begitu kredit tersebut dicairkan, mulai saat itulah pihak bank tereksposur yang dinamakan dengan risiko kredit dalam terminologi manajemen risiko bank. Maksudnya, bank punya risiko dalam hal nasabah tidak mampu melakukan pengembalian pokok kredit plus bunganya kepada pihak bank.
Sering ketidakpatuhan nasabah dalam mencicil atau melunasi utangnya ke bank, tidak berkaitan dengan kemampuan usahanya dalam menjalankan suatu bisnis. Namun lebih banyak karena faktor karakter dan niat baik dari si nasabah. Nasabah yang nakal, tidak jarang menghilang tanpa jejak, sedangkan asetnya yang diagunkan kepada pihak bank ternyata aset bodong.
Makanya sangat tepat jika dalam prinsip "5C" dalam pemberian kredit di bank manapun, C yang pertama adalah character atau karakter calon nasabah. Baru sesudah itu diteliti C berikutnya, yakni capacity, capital, condition, dan collateral. Tahapan dalam 5C ini tidak bisa seenaknya, kalau karakter seseorang sudah tidak baik, tak ada gunanya menganalisis 4C lainnya, buang-buang waktu saja.
Masalahnya, sangat tidak gampang menilai karakter seseorang. Bahkan kalaupun memakai alat uji psikotes seperti saat seseorang ikut seleksi penerimaan staf baru di sebuah perusahaan atau instansi, tetap tak ada jaminan karakternya betul-betul tidak tercela. Buktinya banyak pejabat yang terkena kasus korupsi, padahal saat ia direkrut, pasti sudah lolos psikotes.
Tak ada panduan baku dalam menilai karakter seseorang. Melakukan wawancara memang sedikit membantu, tapi belum cukup untuk menyimpulkan baik buruknya karakter seseorang. Makanya orang bank lazim melakukan crosscheck secara tersamar melalui berbagai dokumen dan memperoleh informasi dari instansi atau orang lain yang sering berhubungan dengan calon nasabah yang mengajukan permohonan kredit.
Pertama, sudah standar baku pada perbankan nasional dengan mengecek pada data yang dikelola Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disebut dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Pada data tersebut, mereka yang pernah menunggak pengembalian kredit di bank manapun akan masuk daftar hitam.
Bila seseorang sudah masuk daftar hitam, alamat bank manapun tidak akan mau mengucurkan kredit, kecuali ia menyelasaikan semua kewajiban ke bank yang telah menghitamkan namanya.
Kedua, pihak bank akan memeriksa tanda bukti pembayaran listrik, telepon, air, pajak bumi dan bangunan, pajak penghasilan, atau tagihan lainnya atas nama si calon peminjam. Jika ditemukan pembayaran tagihan tersebut banyak yang dilakukan setelah melewati tanggal jatuh tempo sehingga terkena denda, atau malah ada tagihan yang masih belum dibayar, bisa jadi menggambarkan karakternya yang kurang baik.
Ketiga, pihak bank juga akan meneliti mutasi rekening simpanan si calon peminjam. Ini untuk melihat dari mana saja sumber penghasilannya dan pola pengeluarannya. Mereka yang bergaya hidup boros, besar pasak daripada tiang, merupakan cerminan karakter yang kurang baik.