Tanpa bermaksud mendahului takdir Tuhan, dengan ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai calon Wali Kota Solo yang diusung oleh PDI Perjuangan, maka bisa dipastikan Gibran akan melenggang menduduki kursi orang nomor satu di kota yang menjadi basis PDI Perjuangan tersebut.
Apalagi menurut berita yang berkembang di media massa, tidak hanya PDI Perjuangan yang akan mengusung Gibran, tapi juga Golkar yang sudah lebih dahulu kepincut dengan wakil generasi milenial yang kreatif dalam berbisnis itu. Kabarnya Gerindra dan Demokrat pun ikut-ikutan ingin bergabung. Bahkan sampai ada kekhawatiran, jangan-jangan Gibran menjadi calon tunggal, dalam arti hanya bertarung melawan kotak kosong.
Masalahnya, bukan lagi pada bagaimana memenangkan kontestasi di pilkada mendatang, tapi bagaimana nanti ketika Gibran betul-betul telah dilantik jadi wali kota? Akankah Gibran sama suksesnya dengan sang bapak? Ini harus masuk dalam kalkulasi Gibran karena mau tak mau ia akan dibandingkan dengan Joko Widodo yang dulu juga dari seorang pengusaha banting setir ke jalur politik.
Maka di sini faktor mental akan menjadi penentu. Kalau soal rencana pembangunan, tampaknya Gibran tinggal meneruskan apa yang baik yang telah dilakukan pendahulunya dan memperbaiki apa yang belum beres. Tak perlu terlalu bermanuver dulu, terutama di tahun pertama kepemimpinannya, sambil belajar mengamati situasi dan mencari terobosan baru.
Demikian pula para kepala dinas yang selama ini membantu wali kota yang sekarang, sebaiknya dirangkul dan didengarkan pendapatnya, tak perlu main gonta ganti pejabat yang mungkin akan meresahkan para pembantunya nanti. Bila ada keresahan di kantor balai kota, alamat berbagai program tidak akan berjalan secara baik.
Namun yang perlu dikelola dengan lebih baik adalah tingkat harapan warga Solo yang pasti terlanjur berharap banyak, karena dulu telah merasakan keberhasilan sepak terjang sang bapak, yang akhirnya mengantarkan beliau untuk menggapai kursi Gubernur DKI Jakarta dan berlanjut dengan dua kali menjadi Presiden RI.
Harapan berlebihan masyarakat berpotensi menjadi bumerang bagi Gibran. Sedikit saja melakukan hal yang mengecewakan masyarakat, seolah-olah telah terjadi suatu kesalahan besar. Maka kecermatan dalam mengeksekusi program serta mengkaji apa dampaknya bagi masyarakat setempat, menjadi hal yang tidak gampang bagi Gibran.
Jika mental Gibran belum siap untuk dikritisi masyarakat, akan memunculkan masalah tersendiri, yang mungkin memerlukan penanganan secara psikologis dari pakarnya.
Ingat bahwa bila Gibran berhasil menjalankan tugasnya sesuai standar umum, mungkin akan dianggap prestasi yang biasa-biasa saja. Akan ada saja dugaan semua itu dicapai karena ada nama besar Joko Widodo sehingga banyak pihak yang akan aktif membantu Gibran.
Berhasil sesuai standar saja sudah dianggap bukan hal yang luar biasa, tentu bila gagal dalam mengeksekusi programnya, akan lebih parah lagi tanggapan yang akan diterima Gibran. Bapaknya hebat, kok anaknya tidak? Demikian kira-kira lontaran warga yang ditujukan buat Gibran.
Belum lagi tudingan, atau bisa juga berupa cibiran, dari kelompok yang memang mengambil posisi berseberangan dengan Jokowi sejak awal. Istilah nepotisme atau oligarki politik, tampaknya akan menjadi senjata untuk menurunkan citra Jokowi dan juga citra Gibran sendiri.