Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Pedagang Pasar Kabur Saat Rapid Test, Takut Ketahuan Sakit dan Diisolasi?

Diperbarui: 27 Juni 2020   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. tempo.co

Dari siaran berita di layar kaca yang saya ikuti, Jumat (26/6/2020), ada yang mengusik pikiran saya. Di sebuah pasar di Jakarta, terlihat beberapa pedagang buru-buru menutup tempatnya berjualan dan kabur ketika hampir jam 9 pagi. Soalnya memang sudah dijadwalkan akan ada rapid test dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 pada jam 9 hingga 11 pagi. 

Seorang pedagang yang kabur sempat diwawancarai reporter televisi. Ketika ditanya kenapa ia menolak dites, padahal gratis (kalau inisiatif sendiri akan terkena biaya yang relatif mahal), si pedagang menjawab bahwa ia merasa sehat-sehat saja. Nanti kalau terdeteksi sakit malah menyusahkan karena diminta melakukan isolasi dan tidak boleh berdagang.

Sepintas alasan tersebut terdengar logis. Namun jika dicermati, gara-gara mereka tidak mau dites, malah akan mendatangkan kerugian yang lebih besar buat para pedagang pasar dan pengunjungnya secara keseluruhan. Soalnya, bila ada yang terdeteksi sebagai orang tanpa gejala (OTG), karena tetap berdagang, OTG tersebut akan menularkan ke banyak orang sehingga membentuk cluster penularan baru.

Program pemerintah untuk melakukan sistem jemput bola sudah tepat, termasuk dengan menggratiskan biaya pemeriksaan. Sayangnya, penolakan warga untuk diperiksa betul-betul jadi penghambat dalam pencegahan pandemi Covid-19 di negara kita.

Bahkan mungkin karena saking kesalnya, seorang pembaca Kompas, Titi Supratignyo, menulis pada rubrik Surat Pembaca (Kompas, 26/6/2020). Titi meminta para pedagang pasar dan masyarakat yang menolak, bahkan mengusir petugas medis yang akan melalukan rapid test, agar dapat bersikap lebih bertangung jawab. Caranya dengan menuliskan nama-nama mereka yang menolak, menyebutkan alasannya, dan menandatanganinya.

Soalnya, para petugas itu datang ke pasar-pasar atau lokasi lain tempat diadakan rapid test dengan membawa surat tugas. Tujuannya pun mulia, demi keselamatan rakyat, termasuk para pedagang dan masyarakat yang menolak itu tadi.

Namun harus diakui, terlepas dari kasus pedagang pasar di atas, ada orang yang kebetulan merasa kondisinya baik-baik saja, namun takut diperiksa kesehatannya karena kalau ketahuan mengidap suatu penyakit, akan membebani pikirannya. Akhirnya sakitnya akan bertambah karena beban pikiran tersebut.

Saya bahkan punya teman yang sangat ketakutan untuk memeriksa darah di laboratorium klinik. Ceritanya sekitar tiga tahun lalu, ia mempunyai keluhan karena sering pusing. Tak sembuh dengan obat bebas, ia terpaksa berkonsultasi ke seorang dokter yang praktik di sebuah klinik yang ada laboratoriumnya.

Jadi si teman ini tak  bisa lagi menghindar ketika si dokter memintanya untuk memeriksa darah, dan ketahuan angka total kolesterolnya tinggi sekali, yakni 290. Padahal batas maksimal untuk yang tergolong baik adalah 200.

Seharusnya ia diminta setiap 3 bulan sekali datang lagi ke dokter tersebut dengan terlebih dahulu mengecek kolesterolnya. Tapi sampai sekarang ia tidak mau lagi diperiksa. Katanya ia merasa baik-baik saja dan justru jadi stres bila nanti ketahuan kolesterolnya masih tinggi.

Saya sendiri merasa beruntung karena sewaktu masih bekerja secara penuh di sebuah BUMN, setiap tahun mendapat fasilitas general check up yang dibayar oleh perusahaan. Sekarang karena saya hanya bekerja secara part time, saya rela merogoh kocek sendiri untuk datang ke lab setiap 6 bulan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline