Kebetulan saat saya menonton televisi, Selasa (16/6/2020) sore, lagi ditayangkan liputan dari Pasar Rawasari, Jakarta Pusat, sehubungan dengan mulai diterapkannya sistem ganjil genap bagi para pedagang di pasar tradisional.
Hal ini menarik perhatian saya, karena selama ini, walaupun mal-mal ditutup, ternyata pasar tradisional selalu dibuka. Kecuali bila ada pedagang yang terkena virus corona di pasar tertentu, khusus untuk pasar tersebut akan dututup selama beberapa hari. Siapa saja yang diduga pernah berdekatan secara fisik dengan pedagang yang terpapar virus akan ditelusuri, diperiksa kesehatannya dan diisolasi.
Sebagai contoh, kebetulan saya berdomisili di Tebet Timur, Jakarta Selatan. Hampir setiap hari Minggu pagi, istri saya berbelanja di sana, dan selalu saja saya cemas, karena dari cerita istri saya, pengunjungnya kalau pagi hari selalu ramai. Bila ke pasar agak siang, maksudnya pas pengunjung sepi, sayuran yang mau dibeli sudah kurang bagus, bahkan kadang-kadang sudah habis.
Untung saja istri saya lumayan berhati-hati dengan mematuhi protokol kesehatan, antara lain dengan menggunakan masker, mencuci tangan, segera mandi dan berganti pakaian sesampainya di rumah.
Kembali ke soal ganjil genap, istilah ini merupakan sistem dalam peraturan berlalu lintas di ibu kota. Sebelum penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), di jalan-jalan tertentu di Jakarta, untuk memperlancar lalu lintas berlaku sistem ganjil genap. Sekarang istilah yang sama diadopsi bagi pedagang di pasar tradisional.
Jika bagi pengendara kendaraan bermotor, ganjil genap itu mengacu pada nomor belakang yang tertera di plat mobil atau motor yang dikendarai, maka bagi pedagang tradisional mengacu pada nomor kios yang ditempatinya di pasar. Kios bernomor ganjil dibuka pada tanggal ganjil, dan kios bernomor genap dibuka pada tanggal genap.
Tentu cara tersebut merupakan cara gampang dalam membagi dua jumlah pedagang yang boleh beroperasi di pasar tradisional, karena pada periode transisi ini, Pemda DKI Jakarta hanya memperkenankan setiap harinya separuh dari kapasitas pasar yang digunakan.
Masalahnya, ada pedagang yang menjual barang jenis tertentu yang mudah busuk, sehingga satu hari saja tidak boleh berjualan, alamat akan merugi besar. Contohnya adalah pedagang sayur, pedagang buah-buahan, dan pedagang makanan. Tak heran, para pedagang sayur dan buah menyuarakan keluhannya saat diwawancarai reporter televisi.
Kerugian tersebut sangat memukul kehidupan keluarga masing-masing pedagang setiap tidak berjualan. Padahal mereka rata-rata adalah pedagang kecil yang kalaupun berjualan setiap hari, hanya meraih keuntungan yang mungkin pas-pasan untuk menutupi kebutuhan harian.
Pelanggan tentu juga punya keluhan. Masa pelanggan makanan lontong sayur yang terbiasa sarapan setiap pagi di sebuah kios makanan, harus gonta-ganti kios, padahal belum tentu cocok kalau sarapan di kios sebelah. Kalau pelanggan sayur yang punya pedagang langganan, mungkin bisa menyiasatinya dengan belanja di tanggal ganjil atau genap, tergantung nomor kios yang disukainya.
Masih dari liputan televisi, terlihat pula ada pedagang yang memakai dua kios yang bersambungan. Mungkin yang seperti itu bisa berdagang setiap hari. Yang punya beberapa petak kios ini bukan pedagang sayur, buah, atau makanan. Namun tetap saja keluhannya sama, berupa turun tajamnya omzet.