Para pegawai negeri, termasuk anggota TNI, Polri, dan juga pegawai BUMN, mungkin masih banyak yang belum punya rumah sendiri. Tentu para pegawai dimaksud adalah yang berada pada lapisan menengah ke bawah pada struktur organisasi di tempat masing-masingnya bekerja. Asumsinya, mereka yang punya jabatan, dianggap mampu untuk memiliki rumah.
Dulu pemerintah punya program Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum PNS). Sekarang Taperum bersalin rupa menjadi program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dari namanya jelas, cakupan kepesertaan Tapera jauh lebih luas dari Taperum. Namun untuk tahap awal, Tapera menyasar aparatur sipil negara (ASN), baik ASN yang eks peserta Taperum maupun ASN baru.
Pada tahap berikutnya akan mencakup para pegawai BUMN/BUMD, serta anggota TNI dan Polri. Bahkan pada tahap setelah itu lagi, kepesertaan Tapera akan memasukkan pula pegawai perusahaan swasta, pekerja sektor informal, dan pekerja mandiri. Jelas ini suatu program yang strategis yang nantinya diproyeksikan pada tahun 2024 mempunyai 13 juta orang peserta.
Dikutip dari harian Kompas (11/6/2020), tingkat kekurangan rumah secara nasional mencapai 11,4 juta unit, sedangkan laju kebutuhan rumah setiap tahunnya bertambah 800.000 unit seiring bertambahnya keluarga baru. Pertanyaannya, mampukah Tapera mengelola dana yang bersumber dari pemotongan gaji pegawai itu untuk nantinya membiayai pembangunan perumahan bagi para pesertanya yang belum punya rumah?
Kata kuncinya tentu pada kecermatan pihak pengurus Tapera dalam bekerjasama dengan perusahaan manajemen investasi, sehingga dari dana yang terkumpul bisa ditempatkan pada instrumen keuangan yang memberikan imbalan yang optimal. Kenapa optimal dan bukan maksimal? Karena dalam teori investasi berlaku hukum bahwa imbalan berbanding lurus dengan risiko. Imbalan yang sangat tinggi justru perlu dicurigai.
Memang bagi mereka yang berkarir di bidang keuangan tentu tidak asing dengan prinsip high risk high return, low risk low return. Investasi berupa saham sangat mungkin mendatangkan return yang tinggi, tapi begitu terjadi kondisi abnormal seperti adanya pandemi Covid-19 sekarang ini, saham justru jadi sumber petaka.
Maka kalau lebih menekankan kepada sisi keamanannya, saat ini lebih aman menempatkan dana berupa deposito di bank-bank papan atas dengan reputasi yang terjamin. Tak begitu besar bunganya, namun boleh dikatakan sangat rendah risikonya. Nah, bagaimana mencari formulasi trade off antara risk dan return tersebut, perlu dikuasai oleh para pengelola Tapera.
Soalnya Tapera harus punya nafas yang sangat panjang. Personil yang dimiliki Tapera harus betul-betul berintegritas tinggi, jangan ada oknum yang menggerogoti. Oknum yang tergiur imbalan investasi tinggi padahal penuh risiko, sillakan minggir. Maka bukan imbalan maksimal yang dikejar, tapi yang moderat pun sepanjang bisa berkelanjutan, sudah merupakan prestasi.
Tapi yang juga tak kalah penting adalah aspek tata kelola atau kalau istilah yang berlaku di perusahaan adalah good corpotare governance (GCG). GCG ini terdiri dari 5 komponen yang disingkat dengan TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness).
Belajar dari banyaknya kasus investasi bodong yang membuat para penyimpan dana mengalami kerugian besar gara-gara terpikat iming-iming menggiurkan yang ternyata hanya PHP (pemberi harapan palsu), maka Tapera harus bersikap transparan dan bersedia diawasi secara ketat, termasuk oleh perwakilan peserta, bahkan oleh masyarakat.
Pada era Taperum dulu, banyak PNS yang tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang hak-haknya, sehingga saat memasuki pensiun, dana yang dipotong dari gaji bulanannya terpaksa diikhlaskan saja. Padahal seharusnya bisa dikembalikan kepada masing-masing peserta.