Saya relatif sering membaca media cetak, khususnya koran dan majalah dengan segmen khusus, karena kontennya mayoritas berita ekonomi dan bisnis. Sudah biasa media seperti itu menyajikan wawancara yang mendalam dengan seorang chief executive officer (CEO) atau seorang direktur utama dari sebuah perusahaan. Tentu telah melalui pertimbangan redaksi media tersebut dalam memilih orang yang akan diwawancarai.
Menarik juga bila si pewawancara pintar menggali informasi, apa saja strategi bisnis yang mungkin dianggap rahasia perusahaan, bisa terungkap ke publik. Pertanyaannya, apakah wawancara tersebut tidak menjadi bumerang bagi perusahaan dan malah menguntungkan buat perusahaan pesaing karena bisa lebih cepat mengantisipasi gerakan kompetitornya?
Sebagai contoh, saya baru saja membaca majalah Forbes Indonesia edisi Maret 2020. Kebetulan pada edisi tersebut yang diwawancarai adalah CEO dari sebuah bank milik negara yang sekaligus menjadi bank yang terbesar dari sisi aset dan laba di tanah air. Bank dimaksud adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Sunarso yang telah menakhodai BRI sejak akhir tahun lalu, setelah cukup lama menduduki wakil direktur utama di bank yang sama, dengan gamblang memaparkan bahwa meskipun sekarang BRI sudah lama menjadi raja untuk micro banking, BRI akan masuk ke segmen yang lebih dalam lagi di lokasi-lokasi yang belum tersentuh pelayanan bank.
Hebatnya, nasabah kecil-kecil itu, yang oleh sebagian bank lain sengaja dihindari, malah menjadi penyumbang laba terbesar bagi BRI. Sekarang untuk mempercepat pelayanan karena mulai tersaingi pinjaman online, BRI serius melakukan strategi digitalisasi terhadap micro banking.
BRI secara serius melakukan berbagai tahapan untuk digitalisasi yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Tak berlebihan kiranya bila BRI menjadi satu-satunya bank di dunia yang punya satelit sendiri, karena wilayah kerja BRI menjangkau hingga daerah terluar, termasuk yang hanya bisa dijangkau dengan kapal khusus yang disulap menjadi kantor bank yang menyinggahi pulau-pulau kecil.
Prinsip small is beautiful sepertinya cocok untuk mendeskripsikan bisnis BRI yang mengumpulkan nasabah-nasabah kelas "receh" seperi pedagang di warung pinggir jalan, di pasar tradisional, petani, nelayan, dan kelompok masyarakat kelas bawah lain. Tapi receh-receh begitu dikalikan puluhan juta nasabah, jelas bisnis yang meraksasa.
Sekarang banyak pengamat yang memprediksi bank-bank bakal habis disalib perusahaan teknologi finansial yang menyediakan pinjaman online. Tapi CEO BRI seolah ingin mengatakan, jangan ragu, BRI telah menyiapkan strategi khusus menghadapi serangan pesaing baru yang menghadirkan aktivitas bank cukup dari telpon pintar saja.
Seperti yang dipaparkan Sunarso, banyak juga CEO lain yang seolah sengaja mengumbar strategi bisnisnya. Ini bisa jadi semacam pancingan yang si CEO telah memprediksi akan seperti apa tanggapan pihak perusahaan pesaing. Jika pesaing termakan dengan pancingan itu, si CEO sudah punya langkah baru yang mungkin di luar dugaan banyak orang.
Apakah perusahaan itu tidak takut strateginya ditiru pesaing? Tidak gampang meniru bulat-bulat strategi perusahaan yang lagi leading di industrinya. Ambil contoh BRI itu tadi, ada banyak bank yang sudah mencoba menggarap pinjaman mikro yang selama ini dirajai oleh BRI. Ada Danamon Simpan Pinjam yang meniru pola BRI Unit Desa. Ada Unit Mikro Mandiri, dan sebagainya.
Tapi sejauh ini BRI seperti melenggang sendirian karena sudah punya budaya kredit mikro sejak tahun 1986 dengan meluncurkan produk Simpedes (Simpanan Pedesaan) dan Kupedes (Kredit Umum Pedesaan). Standar prosedur BRI bisa ditiru, tapi membangun budayanya tidak bisa instan.