Saya tidak ngeh kalau Jumat (15/5/2020) kemaren, bagi para penulis di Kompasiana yang rutin menulis setiap hari selama bulan puasa pada kanal Tebar Hikmah Ramadan, topik yang telah ditentukan oleh pengelola Kompasiana di Jumat tersebut berkaitan dengan kue lebaran yang jadi favorit setiap penulis.
Maka tentu saja puluhan tulisan seputar kue lebaran bertebaran di Kompasiana. Saya ingin memanfaatkan momentum itu karena dua hari yang lalu saya menerima gambar melalui salah satu grup WhatsApp (WA) yang saya ikuti. Gambar tersebut adalah yang saya tampilkan sebagai foto pada tulisan ini.
Hanya saja karena saya bermaksud membahasnya dari aspek produksi dalam suatu mata rantai bisnis, maka saya menayangkannya pada kanal bisnis. Banyak produk yang sehari-hari kita konsumsi, ternyata kita hanya asyik memakan, meminum, atau menggunakannya begitu saja. Padahal dari kemasan produk itu, ada banyak informasi yang bisa kita gali.
Mungkin hanya terhadap produk obat-obatan yang kita sebagai konsumennya merasa perlu menyempatkan diri untuk membaca komposisi obat, efek negatif yang mungkin timbul, tanggal kedaluwarsa, dan cara pemakaiannya. Terhadap produk makanan dan minuman, paling kita hanya mencari tulisan tangal kedaluwarsa saja.
Bahkan kalau kita membeli barang elektronik yang ada buku manual pemasangan dan penggunaannya, jarang yang mau membaca dengan teliti buku manual itu. Hal yang kita simpan hanyalah kartu garansi, sehingga bila barang tersebut rusak, kita bisa melakukan klaim ke pihak yang tercantum di kartu garansi sepanjang memenuhi persyaratan tertentu.
Kalau kita ingin menggali dari berbagai sumber informasi, banyak produk elektronik dengan merek terkenal, ternyata berbagai komponennya dibuat di berbagai negara, termasuk di negara kita. Ada pula pabrik di Indonesia yang bukan sekadar membuat komponennya, tapi betul-betul memproduksi secara utuh, tapi menggunakan merek impor dan disupervisi secara ketat oleh pihak asing.
Kembali ke soal kue lebaran, tanpa bermaksud ikut mempromosikan, kebetulan produk yang gambarnya saya terima di grup WA di atas, adalah merek kesukaan saya. Dulu saya berpikiran kalau itu kue impor, tapi ternyata diproduksi di Indonesia, tepatnya di Ungaran, Jawa Tengah.
Tapi tetap saja saya merasa produk tersebut dibuat berdasarkan lisensi yang diberikan oleh produsen di Eropa, mungkin dari Denmark, karena mereknya adalah Danish Monde Butter Cookies (DMBC) dan logo perusahaannya mirip dengan Danish Pretzel yang merupakan lambang di semua toko kue di Denmark.
Lagi pula saya sudah membandingkan harganya dengan sekitar 5 atau 6 produk lain yang sejenis, dan DMBC merupakan yang termahal di pasar swalayan langanan saya. Menurut pandangan saya yang awam, mahal itu identik dengan produk impor, atau minimal berlisensi impor, dan bermutu baik.
Gara-gara penasaran, saya ambil lagi kotak kemasan DMBC berukuran 908 gram, yang minggu lalu saya beli. Saya teliti semua tulisan yang tercantum di kemasan itu. Kesimpulannya DMBC adalah produk lokal murni, bukan diproduksi berdasarkan lisensi dari Denmark.
Nama perusahaan yang memproduksi terkesan berbau Jepang. Tapi setelah saya cek di situs daftarperusahaanindonesia.com, perusahaan itu berstatus perusahaan nasional dengan pola Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Ada empat nama yang tercantum sebagai pemegang saham, tapi tak satupun nama yang berbau Jepang atau berbau asing lainnya.