Kebetulan saya menonton acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan oleh TV One, Selasa (28/4/2020) yang membahas pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta. Banyak narasumber yang tampil, salah satunya adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Anies Baswedan antara lain mengatakan bahwa selama ia memimpin Jakarta tidak ada yang namanya operasi yustisi yang dulu rutin dilakukan di ibu kota setiap habis lebaran. Sekarang pun begitu. PSBB memang menuntut terbatasnya pergerakan manusia keluar atau masuk Jakarta, tapi itu bukan dalam konteks operasi yustisi.
Dengan tegas Anies mengatakan alasan kebijakannya tersebut, yakni karena Jakarta adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setiap orang Indonesia berhak datang dan tinggal di Jakarta, ujar Anies.
Terkesan lebih manusiawi memang, tapi tentu saja akan berdampak pada sejumlah masalah sosial. Jakarta adalah gula yang selalu dikerubuti semut yang berdatangan dari semua penjuru.
"Gula" tersebut tidak saja berupa lapangan pekerjaan di sektor formal seperti instansi pemerintah dan perusahaan swasta, tapi juga membuka peluang bagi yang gigih berjuang dalam berwirausaha. Ada yang berusaha secara legal dengan perizinan yang lengkap, ada pula yang terpaksa main kucing-kucingan dengan petugas karena berdagang di area terlarang.
Bahkan "gula" dimaksud juga bertebaran di berbagai lokasi yang oleh para pengamat sosial disebut sebagai kantong kemiskinan. Namun bagi mereka yang mau bersahabat dengan bau busuk di lokasi yang ditetapkan pemerintah daerah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) untuk sampah yang diambil dari berbagai tempat, justru banyak rupiah yang bisa digali di kantong kemiskinan itu.
Maka jumlah popupasi Jabodetabek yang demikian banyak, berarti juga sebagai penghasil sampah yang tumpukannya menggunung tinggi, adalah surga bagi para pemulung. Mereka yang tak punya kompetensi sebagai pekerja sektor formal namun tidak merasa gengsi bergelut dengan sampah, menjadikan Jabodetabek sebagai daerah perjuangannya yang menjanjikan.
Mereka datang dari berbagai daerah, bahkan juga di masa PSBB ini. Bisa jadi mereka tidak mengikuti berita soal PSBB, hanya akhirnya tahu sendiri setelah melihat sepinya orang yang berlalu lalang.
Seperti yang diberitakan Pos Kota (10/5/2020), manusia gerobak, manusia karung, pemulung dadakan, mulai marak dan berkeliaran di sejumlah titik di ibu kota. Manusia karung atau gerobak yang dimaksudkan tersebut mengacu pada "aset" para pemulung yang dibawanya berkeliling dalam mengais rezeki.
Manusia gerobak biasanya berkeliling kota dan ada yang tidur di dalam gerobaknya. Bahkan ada pula yang membawa istri dan anaknya. Tentu anaknya tidak mendapat pendidikan formal karena dibawa bapaknya ke mana-mana. Begitu pula istrinya, bekemungkinan belum dinikahi secara ketentuan yang berlaku dalam arti belum tercatat di instansi pemerintah terkait.
Sedangkan manusia karung selalu memanggul karung dan membawa satu alat dari besi untuk memudahkan mengambil barang yang diincar dari tong sampah di depan setiap rumah yang dilewatinya.