Dulu sampai saat saya meninggalkan kampung halaman di Sumatera Barat karena mendapatkan pekerjaan di Jakarta tahun 1986, di berbagai desa saya masih sering melihat arak-arakan anak-anak yang menjadi perserta khatam Al-Quran.
Di belakang anak-anak tersebut, biasanya para orang tua juga ikut berpawai keliling kampung. Anak-anak berpakaian muslim ala Timur Tengah atau di sebagian desa cukup berbaju koko, sarung dan peci. Anak perempuan berbaju kurung dan jilbab.
Tapi jilbab zaman dahulu sangat sederhana, bahkan bukan jilbab seperti sekarang. Hanya semacam selendang yang dililitkan sedemikian rupa, tentu pakai penjepit, sehingga berfungsi sebagai jilbab.
Yang juga menarik dari acara arak-arakan adalah tampilnya kelompok marching band dari anak-anak desa setempat yang telah latihan sejak beberapa hari sebelumnya. Ada pula pasukan pembawa bendera merah putih.
Di sepanjang jalan raya dipasang banyak umbul-umbul berwarna khas Minang yang terdiri dari tiga warna secara secara vertikal, merah, kuning, dan hitam. Sekilas agak mirip bendera kebangsaan Jerman.
Sehabis acara arak-arakan, semua berkumpul di masjid atau di halaman masjid bila luasnya memadai dan bisa dipasang tenda. Di sinilah digelar seremoni yang menjadi puncak acara. Di gerbang masuk masjid dipasang gaba-gaba, semacam gapura yang bisa dibongkar pasang berhiaskan tulisan acara khatam Al Quran.
Tidak afdol rasanya jika tidak ada pejabat level kecamatan, atau minimal pejabat desa setempat, yang hadir di acara itu. Sang pejabat akan disambut secara khusus, dan juga akan diminta memberikan pidato sambutan. Kemudian tentu juga ada pidato dari ketua pengurus masjid.
Sebagai bukti bahwa anak-anak tersebut memang telah menamatkan pelajaran membaca Al-Quran, dan juga telah mampu membacanya secara benar dengan irama yang enak didengar, satu persatu akan dipanggil naik panggung untuk membaca Al-Quran.
Setelah itu masing-masing anak akan menerima semacam sertifikat yang menerangkan mereka telah menamatkan mengaji Al-Quran, tentu dengan diberi petuah agar terus melanjukan kebiasaan mengaji, kalau tidak, bisa lupa saat sudah dewasa.
Acara akan ditutup dengan makan bersama ala tradisional Minang yang disebut dengan makan bajamba. Caranya semua hadirin duduk lesehan, kelompok laki-laki dipisahkan dengan kelompok perempuan.
Setiap enam sampai delapan orang makan nasi dan lauknya dari sebuah wadah yang besar. Tentu ada tata kramanya, agar masing-masing orang tidak main hajar saja, karena bisa membuat orang lain tidak nyaman. Apalagi semua orang makan pakai tangan. Hanya makanan yang di depan kita yang boleh dimakan, jangan menjarah ke area orang lain. Tapi panitia telah mencoba membagi lauk secara merata.