Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Cara Pasar Swalayan Menghadapi Serbuan Pelanggan dengan Tetap Menjaga Jarak

Diperbarui: 7 April 2020   05:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok pribadi

Sebetulnya saya dan istri agak malas keluar rumah pada Sabtu (4/4/2020) kemarin. Tapi apa boleh buat, persediaan keperluan harian yang kami beli tiga minggu yang lalu sudah sangat menipis.

Tak ada jalan lain, kami harus berbelanja di pasar swalayan langganan kami. Biar dianggap tidak berbau promosi, saya tulis saja sebagai pasar swalayan T yang tidak banyak cabangnya. Saya lihat di website-nya, hanya ada 8 gerai yang tersebar di Jabodetabek.

Di sekitar rumah saya di Tebet, Jakarta Selatan, belum ditemui pasar swalayan tersebut, sehingga yang terdekat adalah yang terdapat di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ke situlah saya pergi pada Sabtu pagi tersebut.

Kelebihan pasar swalayan T adalah kelengkapan barang dan harga yang murah. Kebetulan saya dulu telah mencoba berbelanja di banyak pasar swalayan, termasuk yang bekerjasama dengan nama besar yang berbau asing.

Namun ternyata yang paling murah adalah pasar swalayan T itu tadi, yang murni merupakan pasar swalayan lokal. Kalau tidak salah dirintis puluhan tahun lalu oleh seorang pengusaha berdarah Minang. Awalnya T ini berdiri di Rawamangun, Jakarta Timur.

Tentu saja semua pasar swalayan ada kelebihan dan kekurangannya. Karena murah itu tadi, pelanggan T harus mau mengorbankan kenyamanan berbelanja. Pengunjung hampir setiap saat penuh, apalagi di hari libur.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan kepenuhan itu. Mencari tempat parkir kendaraan jadi susah. Saat memilih barang di lorong tertentu, antar pengunjung sering saling bersenggolan. 

Yang paling mengesalkan adalah saat mengantre di depan kasir, bisa memakan waktu yang sangat lama, karena panjangnya barisan. Bagi saya tidak begitu masalah, karena sambil mengantre saya bisa menulis draft artikel di Kompasiana.

Nah karena saat saya ke sana kemarin masih dalam status semua warga diimbau berada di rumah saja, saya berharap akan menemukan pasar swalayan yang sepi.

Harapan saya seolah akan terkabul, karena sepanjang jalan dari rumah ke pasar swalayan itu, saya tidak melihat banyak kendaraan yang berlalu lalang. Bahkan saya melihat banyak sekali jalan-jalan kecil, pecahan jalan besar yang saya lewati, ditutup dengan memasang portal di mulut jalan.

Saya terkenang kembali saat kerusuhan massal 1998 dulu yang berhasil menumbangkan kekuasaan Soeharto. Di mana-mana dipasang portal yang membuat orang tidak bebas keluar masuk suatu tempat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline