Dulu, di awal saya memulai karier di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, berkali-kali bos saya mengumpulkan staf yang baru direkrut seperti saya. Tujuannya bukan memberikan pengarahan tentang apa yang harus dikerjakan, namun lebih banyak untuk membakar semangat para staf baru.
Kalimat si bos yang paling sering saya ingat adalah: "Jangan mau jadi karyawan yang medioker". Maksudnya bila kita berada dalam satu kelompok, jadilah seorang yang menonjol, bukan hanya bisa melakukan seperti apa yang dilakukan karyawan lain.
Tapi, apa makna sesungguhnya dari kalimat itu, lama kemudian baru bisa saya pahami, ketika masa kerja yang saya tempuh telah terbilang di atas 5 tahun. Soalnya, pada tahun-tahun awal, belasan orang dari kami yang sama-sama memulai karier, nasibnya relatif sama, tanpa melihat siapa yang lebih menonjol.
Mungkin saja atasan kami sudah punya catatan bahwa di antara kami tentu ada yang di mata atasan lebih baik dari yang lain. Hanya saja setelah melewati satu tahun masa percobaan, semua kami diangkat jadi pegawai tetap dengan jabatan staf junior.
Artinya, yang menonjol atau yang rata-rata, statusnya sama, otomatis gaji yang diterima juga sama.
Demikian juga dua tahun setelah itu, kami semua naik lagi satu step, sama-sama dipromosikan menjadi staf (embel-embel juniornya hilang). Namun, untuk naik lebih tinggi lagi, tidak mungkin bareng-bareng, karena secara struktur organisasi terlihat seperti sebuah piramid. Maksudnya makin mengerucut ke atas.
Tentu tak mungkin kami belasan orang sama-sama promosi lagi jadi staf senior, wakil kepala bagian, kepala bagian, wakil kepala divisi dan kepala divisi.
Atau kalau kami dipindahkan ke daerah, urutan kariernya setelah menjadi staf senior adalah manajer pemasaran atau manajer operasional, kepala cabang pembantu, kepala cabang di kota kecil, kepala cabang di kota sedang, kepala cabang di kota besar, wakil kepala wilayah, dan kepala wilayah.
Setelah menjadi kepala divisi atau kepala wilayah (keduanya setara), karier seseorang boleh dikatakan sudah mentok. Untuk naik ke jabatan selanjutnya adalah jabatan "politis" karena sudah level direktur yang menjadi kewenangan Kementerian BUMN (tempat saya bekerja merupakan perusahaan milik negara).
Tapi bagi segelintir orang yang mampu mendapatkan akses ke pusat kekuasaan, target menjadi direktur ibarat sudah harga mati. Mereka yang seperti ini selalu punya cara untuk melejit jauh lebih tinggi, bahkan sampai menduduki kursi direktur utama.
Jelaslah, ibarat ada lomba maraton, ketika di garis start, semua peserta bergerombol, tapi makin lama makin terlihat siapa saja yang mampu melesat ke depan. Apalagi jalan yang dilewati makin menyempit, dari dua belas jalur menjadi delapan jalur, enam jalur, empat jalur, dua jalur, dan akhirnya hanya satu jalur saja.