Sebetulnya di pandang dari sisi manapun, bagi mereka yang sudah berkeluarga, terlibat pacaran di tempat kerjanya, baik dengan atasan, teman kerja, atau dengan bawahan, adalah sesuatu yang harus dihindari.
Kalau salah satu masih bujangan, khususnya jika yang masih single itu pihak perempuan, meskipun salah, tingkat kesalahannya lebih kecil ketimbang seorang istri yang berselingkuh dengan brondong bujangan.
Alasannya sederhana saja. Praktik poligami masih diperkenankan dengan sejumlah syarat, namun tidak untuk poliandri atau wanita yang punya suami dua orang atau lebih pada saat bersamaan.
Jadi kalau seorang atasan pria memacari wanita bawahannya, dengan niat dijadikan istri kedua dan syarat untuk berpoligami bisa dipenuhinya, ya silahkan dipertimbangkan, apakah kebaikannya lebih besar ketimbang keburukannya.
Adapun bila antar teman se-kantor saling bermain asmara dan keduanya sama-sama belum terikat perkawinan, ini hal biasa dan tidak perlu dibahas lebih jauh.
Nah, anggaplah ada seorang pria pejabat level menengah di sebuah kantor yang ingin pacaran dengan wanita di kantor tersebut. Kebetulan ia naksir karyawati baru, bawahannya sendiri yang masih single.
Namun ia juga diberi angin oleh bosnya yang seorang wanita berusia 40-an tahun tapi masih lajang. Karena ada dua pilihan, si pria ini jadi bingung. Nah, menurut anda sebaiknya ia pilih yang mana?
Kalau berbicara etika, apalagi dikaitkan dengan agama, seharusnya tidak satupun yang harus dipilih. Soalnya si pria ini sudah punya istri dan dua orang anak. Berselingkuh itu enak awalnya, tapi sengsara di ujungnya.
Tapi kita fokus untuk menjawab pertanyaan di atas saja. Pilihannya hanya ada dua, pacaran dengan atasan atau dengan bawahan. Memacari keduanya atau tidak memacari keduanya, tidak tersedia sebagai pilihan.
Dari sisi kebebasan, pacaran dengan bawahan lebih oke ketimbang dengan atasan. Dalam birokrasi orang kantoran, semakin tinggi jabatan, semakin besar tingkat kebebasannya.
Jadi dalam kasus di atas, jika di pandang dari sisi si lelakinya, karena ia memacari bawahannya, maka yang memegang kendali adalah ia sendiri. Itu berkaitan dengan jabatannya yang lebih tinggi.