Menjadi pionir dalam membuka usaha baru, tak selalu berarti membawa keberuntungan ketika para pesaingnya mulai bermunculan.
Itulah yang tengah dialami oleh Bank Muamalat (selanjutnya ditulis BM), bank pertama yang beroperasi menggunakan sistem syariah di Indonesia.
Meskipun saat pendiriannya di tahun 1991 dulu, ada kemudahan yang diberikan pemerintah, dan juga melibatkan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), BM berstatus sepenuhnya swasta.
Tapi tak dapat dipungkiri, perhatian pemerintah terhadap BM relatif besar, seiring dengan besarnya perhatian terhadap pengembangan ekonomi syariah.
Apalagi setelah KH Ma'ruf Amin menjadi Wapres. Ulama yang juga dikenal sebagai pakar ekonomi syariah ini sangat menginginkan kemajuan bisnis yang berlabel syariah. Tentu di sini juga termasuk agar semua bank syariah dapat berkembang dengan baik.
Memang, jika melihat potensinya, tak ada yang meragukan bahwa prospek bank syariah di Indonesia sangat cerah. Ini sangat didukung oleh fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.
Namun kenyataannya, banyak bank syariah, termasuk BM, yang ingin menuai untung melalui jalan pintas, antara lain dengan membiayai sektor korporasi, bukan usaha kecil dan menengah.
Pemberian kredit kepada korporasi sungguh sangat menggiurkan. Suatu perusahaan besar dapat dikucuri sampai puluhan miliar rupiah, atau bahkan bisa ratusan miliar rupiah, tergantung jumlah modal bank.
Soalnya ada aturan Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) untuk suatu perusahaan atau suatu kelompok usaha yang besarnya berupa persentase tertentu dari jumlah modal bank.
Bayangkan betapa besar sumberdaya yang dikerahkan bank bila jumlah puluhan miliar rupiah kredit (pada bank syariah kredit diganti namanya dengan pembiayaan) itu dikucurkan pada pengusaha kecil?
Bukankah itu setara dengan ratusan orang pedagang, pengrajin, atau petani, yang masing-masingnya katakanlah menerima pembiayaan dari bank syariah sebesar Rp 50 juta?