Museum kekinian? Bukankah semua museum berkaitan dengan koleksi barang-barang kuno? Lalu faktor kekiniannya di mana?
Ya, barangnya boleh kuno, tapi cara menyajikannya harus mengikuti perkembangan zaman. Bisa pakai teknologi audio visual yang canggih, bisa pakai tata cahaya yang menawan, dan sebagainya.
Dan yang lebih hebat, museum bisa terintegrasi dengan function hall untuk acara konser musik, resepsi pernikahan, atau ruang publik.
Ada pula kafe, pusat jajanan cenderamata, dan banyak spot yang bagus untuk berfoto yang layak dipampangkan di media sosial. Itulah ciri museum masa kini yang lebih dilihat sebagai objek wisata.
Saya pernah menulis di sini bahwa kebanyakan museum di negara kita belum dikelola secara baik dan cenderung membosankan. Yang berkunjung hanya anak sekolah yang diwajibkan gurunya.
Tapi melalui tulisan di atas saya memberi contoh Musium Angkut di Batu, Malang, Jawa Timur, sebagai contoh museum yang berhasil menjadi objek wisata yang laris. Meskipun dikenakan tarif yang relatif mahal, pengunjungnya tetap melimpah.
Museum Angkut adalah milik swasta yang relatif lebih gampang berimprovisasi, sepanjang ada dukungan modal. Nah, ternyata ada juga museum punya BUMN, dalam hal ini PT Perkebunan Nusantara yang mampu mengikuti jejak Museum Angkut.
De Tjolomadoe, itulah nama museum yang saya maksud. Saya beruntung berkesempatan mengunjungi museum tersebut yang terletak di pinggir kota Solo, namun secara administrasi pemerintahan masuk Kabupaten Karanganyar, pada hari Sabtu (12/10/2019) kemarin.
Kebetulan hari itu bertepatan dengan Hari Museum Nasional, sehingga museum yang bertarif Rp 25.000 per orang ini, didiskon sebesar 20 persen. Jadi, saya cukup membayar Rp 20.000 saja.
Karena saya datang bersama 10 orang teman lainnya, tentu penghematannya lumayan terasa. Kami semua adalah rekan kerja di divisi akuntansi dari kantor pusat sebuah BUMN di Jakarta. Sebagian sudah memasuki masa pensiun, sebagian lagi mendekati masa pensiun.