Sangat birokratis khas Indonesia. Dalam keadaan mendesak pun, tindakan cepat yang harus dilakukan terkendala dengan prosedur administrasi yang berbelit dan tidak cocok lagi dengan zaman teknologi canggih sekarang.
Itulah kesan saya ketika membaca berita di harian Kompas, Minggu (29/9/2019), yang berjudul "Gempa Maluku, Korban Belum Terima Bantuan". Disebutkan bahwa sampai hari ketiga setelah terjadi gempa berkekuatan magnitudo 6,5 yang mengguncang Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Barat itu, banyak korban yang masih belum menerima bantuan.
Memang nasib korban gempa Maluku ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Banyak yang tinggal di area pengungsian di bawah tenda seadanya yang dibikin sendiri. Masyarakat luas di luar Maluku tidak banyak yang menaruh perhatian, karena media massa nasional juga tidak banyak meliput.
Soalnya, secara bersamaan juga terjadi demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Tanah Air, ditambah lagi adanya kerusuhan di Papua. Sementara itu bencana kabut asap di Sumatera dan Kalimantan belum sepenuhnya tertangani dengan baik.
Maka harapan agar pemerintah setempat melakukan tindakan cepat buat memberikan bantuan tentu sangat dibutuhkan. Sayangnya, hal ini memerlukan semacam surat "sakti" yang ditandatangani Gubernur Maluku yang berisikan penetapan masa tanggap darurat.
Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku, Farida Salampessy, konsep surat dimaksud sedang disusun untuk nantinya diserahkan kepada Gubernur Maluku Murad Ismail untuk ditandatangani.
Bila surat tersebut sudah ada, maka instansi terkait di daerah dapat mengeluarkan dana dan sumber daya lainnya untuk penanganan korban bencana.
Itu yang saya maksud dengan birokratis khas Indonesia. Paling tidak, khas buat instansi pemerintah dan juga perusahaan milik negara. Untuk perusahaan swasta sepertinya lebih cepat proses pengambilan keputusannya. Apalagi untuk perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, cara kerjanya betul-betul efisien, sudah paperless.
Ciri birokrasi pemerintahan tersebut antara lain setiap pengeluaran uang atau dalam bentuk lain, harus didukung dokumen tertulis yang menjadi dasar dalam persetujuan pengeluaran uang oleh pejabat yang berwenang.
Maka kalimat yang berbunyi "... sesuai dengan surat Gubernur nomor...." pada kuitansi pembayaran (dengan melampirkan foto kopi surat dimaksud), akan menjadi kekuatan bila nanti ada pemeriksaan dari pihak Inspektorat Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), atau aparat pengawasan lainnya.
Tanpa itu, tak ada yang berani mengucurkan dana, meskipun sifatnya darurat dan sangat mendesak. Takut disalahkan, malah bisa berujung di penjara. Dan itu sudah beberapa kali terjadi, adanya penyelewengan dalam bantuan untuk korban bencana alam.