Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Anak Perusahaan dan Rekayasa Keuangan, yang Tumbang dan yang Berkembang

Diperbarui: 17 Oktober 2019   05:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. jurnal.id

Kalau dicermati, banyak perusahaan kelas menengah ke atas yang merasa perlu memiliki beberapa anak perusahaan, baik dengan cara mendirikan perusahaan baru, maupun dengan mengakuisisi (membeli) perusahaan yang sudah ada. 

Dalam perkembangannya, anak perusahaan juga banyak yang bikin anak lagi, alias menjadi cucu dari induknya. Tapi hubungan induk-anak-cucu, karena berupa garis lurus, masih termasuk pola yang sederhana.

Pola yang lebih rumit adalah hubungan antar perusahaan yang tidak linier karena hubungannya bersifat diagonal atau kepemilikan secara silang. Ada pula yang sulit dipolakan karena melibatkan hubungan dengan saudara "sepupu", "keponakan", dan sebagainya.

Sepertinya, dalam beberapa kasus, hubungan antar perusahaan yang bersaudara sengaja disamarkan agar tidak gampang dilacak. Tujuannya bisa untuk menyembunyikan aset, atau sebaliknya untuk menggelembungkannya. 

Gampang ditebak, menyembunyikan aset berkaitan dengan penghindaran pajak. Sedangkan penggelembungan aset biasanya untuk menaikkan citra perusahaan agar harga sahamnya meroket atau dapat kemudahan meminjam dalam jumlah besar ke bank.

Pola hubungan antar perusahaan dalam satu grup konglomerasi, akan menjadi semakin rumit bila melibatkan perusahaan yang didaftarkan sebagai badan usaha di luar negeri. Hal ini berkaitan dengan hukum yang berbeda. 

Beberapa negara sangat terkenal sebagai surga bagi investor yang ingin terjaga kerahasiaan hasil usahanya dan sekaligus memberikan fasilitas keringanan pajak yang sangat signifikan. 

Contohnya adalah Cayman Island, Singapura, Swiss, Hongkong, Uni Emirat Arab, Luxemburg, dan sebagainya.

Banyak perusahaan yang bergerak di Indonesia namun induknya terdaftar di salah satu negara di atas. Untuk hal seperti ini, ada istilah transfer pricing sebagai bagian dari rekayasa keuangan.

Dengan rekayasa seperti itu anak perusahaan yang berada di dalam negeri dibuat seolah-olah menderita kerugian sehingga tidak terkena pajak penghasilan. Atau kalaupun memperoleh laba, dibuat seminimal mungkin, tentu kewajiban pajaknya juga kecil.

Sedangkan induknya di luar negeri akan menuai keuntungan besar. Dengan tarif pajak di negara-negara tertentu di atas yang sangat rendah, laba yang besar itu tadi tidak bakal mengandung kewajiban perpajakan yang memberatkan perusahaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline