Saya punya seorang adik yang bekerja dan tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Pekanbaru, Riau. Tentu ia tak lagi merasa asing dengan kabut asap yang menyelimuti kota minyak itu, karena menjadi hal rutin di setiap musim kemarau.
Tapi di tahun ini adik saya tersebut sekeluarga merasa mendapat blessing in disguise karena di balik musibah itu, sang adik yang kebetulan ada job selama seminggu di Manado, Sulawesi Utara, berkesempatan sekaligus membawa keluarganya. Soalnya sekolah di Pekanbaru telah dua minggu diliburkan, tanpa kepastian kapan akan masuk sekolah lagi.
Namun saya tidak tahu apakah berkah atau musibah, saya ada keperluan yang tak mungkin saya hindarkan untuk melakukan perjalanan dari tempat tinggal saya di Jakarta ke Pekanbaru.
Maka pada Jumat (20/9/2019) kemarin, sekitar jam 18.20 malam saya mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru. Selama 24 jam saya berada di ibu kota Provinsi Riau itu, karena sekitar jam 18.45 malam besoknya saya kembali lagi ke Jakarta.
Satu hal yang saya khawatirkan adalah bila jadwal penerbangan sesuai tiket yang sudah saya beli mengalami penundaan atau pengalihan pendaratan. Tapi syukurlah semua sesuai skedul.
Saya sudah siap dengan membawa masker dari jenis yang lebih tebal yang langsung saya pakai begitu mendarat di Pekanbaru. Ternyata hampir semua penumpang melakukan hal yang sama, memasang masker.
Apalagi dari balik kaca terminal kedatangan sudah terlihat kabut masih tebal. Tentu saja saya tidak ingin kesehatan jadi terganggu, meskipun saya hanya 24 jam di sana. Mudah-mudahan masker itu bisa membantu.
Soalnya dari berita yang saya ikuti, telah ada beberapa orang bayi yang meninggal di Pekanbaru. Menurut orang tua si bayi seperti yang diberitakan salah satu stasiun televisi, penyebab meninggalnya adalah karena menghirup asap. Tapi hal ini dibantah pemerintah setempat.