Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Film Gundala Membuat Penonton Terbelah

Diperbarui: 16 September 2019   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Viva.co.id

Saya bukanlah penggemar film superhero. Seorang teman saya yang kecanduan menonton film jenis tersebut, mengungkapkan kekecewaannya setelah menonton film superhero pertama Indonesia, Gundala.

Tapi anehnya teman saya itu memprovokasi saya untuk menonton Gundala, agar ia punya teman yang sama-sama jadi "korban" Gundala. Padahal ia tahu bahwa saya lebih suka film drama yang menggambarkan kehidupan sehari-hari yang sangat mungkin dialami oleh banyak orang.

Kalaupun saya akhirnya memutuskan menonton Gundala, itu karena terpengaruh beberapa tulisan di Kompasiana yang bernada positif. Lagipula sekarang film ini sudah memasuki minggu ketiga pemutaran. Artinya film ini laris manis. Wajar kalau saya jadi penasaran.

Nama Joko Anwar sebagai sutradara juga menjadi daya tarik. Dulu saya juga menonton Pengabdi Setan meski bukan penggemar film horor. Saya waktu itu penasaran apa hebatnya film tersebut kok bertahan satu bulan di bioskop. Pengabdi Setan adalah film karya Joko Anwar dan ternyata saya bisa menikmatinya.

Begitulah, akhirnya saya sengaja menonton film Gundala di salah satu bioskop di Jakarta Selatan, Senin (16/9/2019). Saya yang tidak pernah membaca komik Gundala, hanya punya referensi satu atau dua film superhero produksi Marvel saja, yang saya ingat adalah Avengers, secara overall bisa menikmati film Gundala.

Namun saya akhirnya bisa memaklumi kenapa mereka yang sudah menonton Gundala, penilaiannya terbelah. Beberapa anak muda yang saya taksir usianya sekitar 25 tahun, seusai keluar dari bioskop terdengar mengumpat melampiaskan kekecewaannya.

Memang tidak semenegangkan Avengers, demikian pula kedahsyatan berantemnya, Gundala masih kalah. Saya juga memahami pendapat teman saya yang kecewa karena alur ceritanya yang terkesan terburu-buru sehingga agak sulit dipahami.

Tapi barangkali rasa cinta saya pada film nasional demikian besar, sehingga dalam keterbelahan itu saya termasuk kelompok yang merasa terhibur. Bukan berarti saya mengatakan mereka yang kecewa dengan Gundala rasa nasionalismenya kurang, namun hanya terlanjur sangat Hollywood sentris.

Memang adegan laga dengan berbagai alat, termasuk menggunakan teknologi canggih, yang membuat penonton terpaku seperti pada Avengers, kurang terlihat di Gundala.

Namun justru karena itu menurut saya menjadi nilai plus Gundala karena banyak dibumbui adegan yang memakai gerakan silat khas negara kita. Ini yang saya sukai dan menjadi salah satu pembeda dengan film superhero barat.

Pembeda lain adalah problem sosial yang mengawali film ini terasa Indonesia banget, yakni pertentangan buruh pabrik dengan pihak manajemen. Di lain pihak ada kemewahan yang diperlihatkan anggota DPR sebagai wakil rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline