Kejahatan pemerkosaan di negara kita semakin menjadi-jadi. Bahkan sekarang yang meresahkan masyarakat adalah banyaknya predator yang memangsa anak-anak sebagai objek pelampiasan nafsu bejatnya.
Kemajuan teknologi juga turut memperparah keadaan. Dengan bermodalkan telpon pintar banyak yang memanfaatkan untuk membuka situs bermuatan pornografi yang akhirnya malah mendorong buat meniru apa yang ditonton.
Pendekatan preventif yang dilakukan orang tua di rumah, guru di sekolah, ustadz di masjid atau penceramah agama di tempat ibadah lainnya, ternyata belum menuai hasil yang diharapkan.
Tindakan represif antara lain berupa memproses pelaku kejahatan seksual secara hukum, ternyata juga belum menimbulkan efek jera. Kuat dugaan hukuman yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan terlalu ringan.
Nah, ada contoh menarik dari Pengadilan Negeri Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Untuk pertama kalinya hakim yang menyidangkan kasus kejahatan seksual berani menjatuhkan vonis kebiri bagi pelaku pemerkosa, meskipun pihak penuntut dari kejaksaan tidak mencantumkan hukuman seperti itu.
Tribunnews.com (26/8/2019) menulis bahwa kasus yang berujung dengan pengebirian tersebut dilakukan oleh Muh Aris (20 tahun) seorang tukang las di Mojokerto. Aris terbukti melakukan pemerkosaan terhadap sembilan orang anak sejak tahun 2015 sampai berhasil diringkus pihak kepolisian 26 Oktober 2018 lalu.
Awalnya Aris dihukum kurungan selama 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan kurungan. Tapi kemudian juga dikenakan hukuman tambahan berupa kebiri kimia. Putusan ini sudah inkrah karena juga dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur.
Dengan pengebirian maka hasrat seksual seseorang akan dihilangkan. Caranya bermacam-macam, ada yang melalui tindakan pembedahan dengan pengangkatan testis. Ada pula dengan injeksi bahan kimia untuk mengurangi tingkat hormon testosteron. Yang dipilih Pengadilan Negeri Kabupaten Mojokerto adalah jenis yang kedua.
Sekarang Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto masih mencari eksekutornya. Masalahnya di samping rumah sakit setempat belum pernah melakukannya, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga berpendapat bahwa hukuman kebiri itu bertentangan dengan etika kedokteran (kompas.com, 25/7/2016).
Ada lagi tanggapan yang kurang mendukung yakni dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Seorang komisioner di komnas tersebut Choirul Anam mengatakan, hukuman kebiri merupakan bagian hukuman fisik yang dilarang dalam konvensi antipenyiksaan yang telah diratifikasi (kompas.com, 26/8/2019).
Begitulah memang dilema penegakan hukum di negara kita. Di satu sisi, banyak pihak yang salut dan mengapresiasi keberanian hakim di Mojokerto dalam melalukan terobosan yang diyakini akan berdampak positif, mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku atau yang berpotensi melakukan kejahatan seksual.