Dua film yang sama-sama dibuat berdasarkan novel karya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, sekarang tengah ditayangkan oleh banyak bioskop di tanah air.
Kedua film tersebut adalah Perburuan dan Bumi Manusia. Beruntung sekali saya mendapat kesempatan mengikuti program nonton bareng secara maraton kedua film itu, yang diadakan oleh KOMiK, komunitas Kompasianer pencinta film, yang berulang tahun kelima.
Kami 23 orang menontonya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta Pusat. Secara tak terduga kamipun ikut menjadi saksi sejarah karena saat kami menonton, Minggu (18/8/2019), rupanya menjadi hari terakhir beroperasinya bioskop di area TIM.
Rupanya TIM sedang melakukan renovasi besar-besaran dan nasib bioskop di situ belum ada kepastian, apakah akan ada lagi setelah renovasi selesai atau tidak ada secara permanen.
Saya pernah menulis di sini tentang betapa tak sabarnya saya menunggu beredarnya Bumi Manusia. Soalnya saya sudah dua kali menamatkan novel yang dahsyat itu. Wajar kalau saya antusias banget.
Tapi saya belum membaca novel Perburuan. Mungkin karena itu, saya sedikit mengalami kesulitan memahami filmnya terutama pada bagian awal. Sedangkan untuk film Bumi Manusia, saya sudah tahu arah ceritanya, tinggal menikmati akting para pemain serta setting kota Surabaya lebih satu abad yang lalu, ketika orang kaya masih naik kereta kuda.
Di tulisan saya sebelumnya saya mempertanyakan akankah Bumi Manusia versi film akan mendunia seperti versi novelnya. Ada underestimate saya terhadap sutradaranya Hanung Bramantyo. Dulu waktu membuat film berlatar belakang sejarah, seperti Sang Pencerah yang merupakan kisah pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, tidak begitu greget.
Namun kali ini menurut saya film Bumi Manusia seharusnya mampu menembus pasar internasional, baik melalui jalur komersial maupun jalur festival. Paling tidak, "wajib" diputar di Belanda karena banyak kaitannya dengan sejarah pendudukan Belanda di nusantara menjelang penutup abad ke 19.
Hanung berhasil menghadirkan konflik dengan baik, lengkap dengan emosi yang sesuai dengan tuntunan cerita. Bagaimana kemarahan Nyai Ontosoroh yang kehilangan anak gadis dan perusahaannya hanya karena ia pribumi, jelas tergambar.
"Kita kalah tapi kita telah melawan" kata Nyai kepada Minke, menantunya yang harus rela kehilangan istri tercintanya. Perkawinan Minke dengan Annalies tidak sah menurut hukum Belanda, meski sah secara agama Islam.
Para pemain yang bukan bintang utama pun sangat baik penampilannya, khususnya yang memerankan Darsam, pengawal Ontosoroh yang berasal dari Madura.