Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Keunggulan Pelajar Indonesia Harus Konsisten Dilanjutkan dengan Iklim Riset yang Kondusif

Diperbarui: 21 Agustus 2019   10:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. tribunnews.com

Menjelang perayaan HUT ke 74  RI beberapa hari yang lalu, banyak pemberitaan yang mengulas keberhasilan tiga remaja asal Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dalam melakukan penelitian obat kanker dari tanaman bajakah.

Ketiga remaja itu bernama Yazid, Anggina Rafitri dan Aysa Aurealya Maharani, yang semuanya pelajar SMA Negeri 2 Palangkaraya. Penelitian mereka awalnya berhasil memenagi ajang Youth National Science Fair (YNSF) 2019 yang diadakan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, sehingga terpilih mewakili Indonesia dalam perlombaan tingkat internasional.

Maka mereka pun ikut pada ajang World Invention Olympic di Seoul, Korea Selatan, dan menyabet medali emas, menyisihkan peserta lain yang berasal dari 22 negara. Setelah itu, kepopuleran tanaman yang konon hanya ada di pedalaman Kalimantan itu melonjak luar biasa.

Padahal para pakar dari dunia kedokteran telah mengingatkan bahwa penelitian para remaja tersebut masih memerlukan tahapan yang panjang agar mampu menghasilkan obat anti kanker yang bisa diperjualbelikan secara komersial.

Sebetulnya tidak hanya tiga remaja itu saja yang telah mengharumkan nama Indonesia di pentas penelitian remaja tingkat internasional. Demikian pula dalam perlombaan yang sering dinamakan dengan Olimpiade. 

Ada Olimpiade bidang matematika, fisika, dan sebagainya. Tidak terhitung lagi siswa-siswi kita yang memperoleh medali di Olimpiade tersebut sejak belasan tahun terakhir ini.

Satu hal yang tak bisa dibantah, kita punya banyak sekali bibit unggul. Dan ini bukan kisah yang terjadi di era reformasi saja. Di era Orde Baru pun, BJ Habibie yang menjadi "komandan" riset dan teknologi sudah punya program mengirim siswa unggulan untuk mengikuti program sarjana dan pasca sarjana di berbagai universitas top di luar negeri.

Antaranews.com (17/10/2016) menulis bahwa pada dekade 1990-an, sebanyak 4.000 orang dikirim ke luar negeri yang terdiri dari 1.500 lulusan SMA untuk mengikuti program S1, dan sisanya untuk program S2 dan S3.

Masalahnya adalah setelah para mahasiswa di atas berhasil menimba ilmu, saat kembali ke Indonesia, reatif sulit mengembangkan kepakarannya karena kita belum punya iklim riset yang kondusif.

Memang beberapa di antaranya saat ini telah mendapat jabatan di berbagai instansi pemerintah. Namun tugasnya lebih banyak berbau administrasi dan sedikit sekali bersentuhan dengan penelitian yang dirintisnya saat kuliah di luar negeri.

Tentu ada juga yang tetap menekuni bidang riset setelah kembali ke tanah air. Tapi masalahnya  ya itu tadi, harus pintar-pintar "berakrobat" karena iklim yang belum kondusif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline