Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Mark Zuckerberg Membius Dunia, Media Sosial itu Ternyata Antisosial

Diperbarui: 24 Agustus 2019   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. ilmupengetahuanumum.com

Ada sebuah buku yang "menguliti" Facebook (selanjutnya disebut FB). Penulisnya Siva Vaidhyanathan yang menulis buku berjudul "Anti-Social Media: How Facebook Disconnects US And Undermines Democracy". Buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press tahun2018 lalu.

Ulasan atas buku tersebut terdapat di harian Kompas, edisi 27 Juli 2019, yang ditulis oleh Santi Indra Astuti, seorang dosen di Bandung. Santi dengan lugas mengupas paradoks antisosial yang justru dilakukan dengan menggunakan sarana yang disebut dengan media sosial.

Baik, sebelum itu tentu kita perlu sepakati dulu bahwa dari berbagai pengertian tentang aktivitas sosial, pada dasarnya terdapat kesamaan pandang bahwa aktivitas sosial itu sendiri pasti melibatkan orang lain yang saling berinteraksi. 

Meskipun interaksi sosial tersebut bisa juga menimbulkan kompetisi, bahkan konflik, tapi dari sisi positifnya interaksi antar individu dalam tataran ideal akan menghasilkan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dengan saling mengakomodir kepentingan masing-masing individu.

Maka bila kita menyebut sesuatu sebagai media sosial, jelas karena media tersebut mempermudah interaksi sosial. Para orang tua yang sudah lupa teman-temannya waktu sekolah beberapa puluh tahun lalu, tiba-tiba saling terhubung melalui yang namanya media sosial, dalam konteks ini sebut saja melalui FB.

Tapi menurut Siva Vaidhyanathan, kita telah salah membaca FB sebagai media sosial. Kenyataannya, FB adalah media antisosial. Alih-alih menyatukan, FB telah memisahkan manusia. 

Buktinya pengguna media sosial melakukan sesuatu secara privat. Masing-masing orang memberi kabar, berbelanja, melakukan transaksi, dan hal lainnya, cukup dari rumah secara tertutup, yang bebas dari pandangan orang lain.

Namun bersamaan dengan itu ternyata muncul paradoks bahwa privacy individu sebetulnya sudah tidak bersisa lagi. Sekarang jika seseorang mengajukan permohonan untuk mengisi lowongan kerja, justru yang lebih menentukan bukan hanya curriculum vitae-nya, namun juga bagaimana aktivitas seseorang yang jejaknya gampang dilacak di akun media sosialnya.

Lebih parah lagi, media sosial dieksploitasi habis-habisan sebagai mesin politik, termasuk dengan penyebaran hoaks. Makanya ucapan pendiri FB, Mark Zuckerberg, bahwa media sosial memberi garansi untuk trust, menghadirkan hal-hal positif, membuat orang lebih bahagia, dan meningkatkan peradaban, hanyalah ucapan yang membius miliaran penduduk dunia.

Kenyataannya, media sosial menguatkan polarisasi, memecah belah masyarakat, di antaranya pada gerakan Arab Spring dan konflik di Myanmar. Tragedi Brexit dan terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat juga menjadi contoh nyata keputusan yang keliru karena permainan di media sosial.

Atau tak usah jauh-jauh. Di negeri kita sendiri bukankah sangat besar kontribusi media sosial yang "sukses" membelah dua  masyarakat, yang masing-masing saling melontarkan ujaran kebencian. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline