Perkembangan politik di tanah air betul-betul cair dan sangat dinamis, apapun bisa terjadi. Ini tentu saja disikapi secara beragam, ada yang memberikan apresiasi, ada pula yang kecewa, tergantung kepentingan masing-masing yang berbeda.
Hari ini, Rabu (24/7/2019), dua sosok kingmaker, melakukan aksi politik yang berbeda, meski sama-sama dibungkus dengan dalih menyambung tali silaturahim yang sempat putus pada pilpres yang lalu.
Dua sosok dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, dan Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem. Ibu Mega dengan politik nasi gorengnya menjamu Prabowo Subianto untuk makan siang di kediamannya. Turut mendampingi Megawati adalah kedua anaknya Prananda dan Puan Maharani, serta beberapa tokoh partai PDIP. Sedangkan Prabowo juga ditemani beberapa tokoh partai Gerindra.
Tak ada wakil partai koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf (selain PDIP) pada pertemuan Mega-Prabowo tersebut. Namun Surya Paloh juga punya agenda tersendiri bersama partai koalisi, namun tidak dihadiri wakil PDIP.
Surya bertemu dengan ketua umum partai Golkar, PKB dan PPP hari Senin (22/7/2019) lalu. Lalu pada waktu bersamaan dengan pertemuan Mega-Prabowo, Gubernur DKI Anies Baswedan juga mendatangi Surya Paloh. Maka lontaran saling memuji pun keluar dari mulut Surya dan Anies, walaupun saat Pilgub DKI 2017, Surya berada di pihak pasangan Ahok-Djarot.
Terlalu jauh bila menafsirkan pertemuan Anies-Surya untuk tujuan pilpres 2014, tapi bukan tidak mungkin Nasdem mengusung Anies, karena Anies tak punya kendaraan politik.
Namun agenda paling dekat yang tampaknya mungkin dibahas baik pada pertemuan Mega-Prabowo, maupun pertemuan ketua umum parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf minus PDIP, adalah lobi-lobi untuk mencari figur yang paling tepat menduduki kursi ketua MPR.
Bisa jadi PDIP bingung juga mau mendukung siapa bila semua partai koalisi mengincar kursi ketua MPR. Bahkan partai pengusung Prabowo-Sandi pun terang-terangan juga ikut mengincar seperti Gerindra dan PAN.
Maka dari pada dianggap pilih kasih, bisa jadi PDIP setuju apabila ketua MPR "dihadiahkan" saja pada Gerindra sebagai bagian dari proses rekonsiliasi.
Memberikan kursi ketua MPR kepada pihak lawan waktu pilpres pernah terjadi ketika di era SBY yang kedua (2009-2014) dengan terpilihnya Taufik Kiemas dari PDIP yang jadi oposisi.
Mungkin pola seperti itulah yang akan diulangi lagi bila Gerindra mendapat kursi ketua MPR. Maka dilihat dari sisi ini, Gerindra tampaknya lagi di atas angin.