Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Tak Sabar Menunggu Film Bumi Manusia, Akankah Berkelas Dunia Seperti Novelnya?

Diperbarui: 4 Agustus 2019   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. suara.com

Saya pernah membeli dan menamatkan membaca novel Bumi Manusia sekitar 10 tahun lalu. Tapi begitu saya cari kembali di lemari buku, tidak tahu lagi di mana keberadaannya. 

Maka akhirnya saya merasa perlu membeli lagi untuk dibaca ulang, setelah mengetahui novel masterpiece karya sastrawan besar yang pernah menjadi calon kuat peraih Nobel bidang kesusastraan tersebut, sedang dibuat filmnya oleh sutradara Hanung Bramantyo.

Pramoedya Ananta Toer memang luar biasa. Selama menjalani hukuman di Pulau Buru oleh pemerintahan Orde Baru di tahun 1970-an, terciptalah tetralogi yang sangat tinggi nilai sastranya, terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Tapi tentu tidak gampang bagi seorang terhukum karena alasan ideologi politik seperti Pramoedya untuk menerbitkan dan mengedarkan buku-bukunya yang lama berstatus sebagai buku terlarang. Barulah setelah masuk era reformasi, publik di tanah air dengan gampang mendapatkannya.

Untuk Bumi Manusia yang baru saya beli sudah cetakan ke 31 yang dicetak Maret 2019. Selain itu Bumi Manusia juga beredar versi terjemahannya dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Swedia, Norwegia, Spanyol, Perancis, Italia, Ukraina, Rusia, India, Filipina, Malaysia, Thailand, Jepang dan China. 

Edisi bahasa asing tersebut juga banyak yang mengalami cetak ulang. Yang berbahasa Inggris misalnya ada yang dicetak di Inggris dan ada pula yang dicetak di beberapa kota yang berbeda di Amerika Serikat. Jelas tidak berlebihan bila Bumi Manusia disebut sebagai novel Indonesia berkelas dunia.

Bumi Manusia dengan tegas menelanjangi praktik hukum Belanda yang betul-betul diskriminatif terhadap penduduk pribumi. Memang mengikuti kisah cinta pasangan Minke yang asli pribumi dengan gadis Indo yang amat jelita bernama Annalies, seperti menjadi inti dari novel tersebut.

Tapi sesungguhnya yang juga amat menonjol adalah kehebatan seorang Nyai Ontosoroh, yang sewaktu gadis kecil dijual ayahnya sendiri untuk menjadi gundik dari seorang Belanda kaya, Herman Mellema.

Nyai melahirkan dua orang anak, Robert dan Annalies. Robert merasa sebagai orang Eropa dan memusuhi ibunya sendiri, sedangkan Annalies merasa jadi pribumi dan saling bahu membahu dengan ibunya dalam membesarkan perusahaan yang dirintis Herman.

Tidak ada ikatan pernikahan secara legal antara Ontosoroh dan Mellema, sehingga pada akhirnya setelah Herman tewas diracun di sebuah rumah plesiran di Surabaya (setting novel kebanyakan berlangsung di Surabaya dan sekitarnya di penghujung dekade 1890-an), Nyai Ontosoroh harus kehilangan perusahaan dan juga anaknya Annalies. 

Anak Herman dari istri Belandanya, Maurits Mellema, yang akhirnya memperoleh semuanya sesuai dengan hukum yang berlaku saat itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline