Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Tersungkurnya Partai Hanura, Apa Hikmahnya bagi Gerindra dan PDI-P?

Diperbarui: 14 Mei 2019   02:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tribunnews.com/ferdinand waskita

Dari hasil perhitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei, ada satu partai lama yang tak lolos ambang batas 4% sebagai syarat untuk bisa duduk di parlemen (DPR-RI), yakni Hanura. Adapun partai lain yang senasib semuanya adalah partai baru yang pertama kali ikut pemilu dan partai lama yang "hidup" kembali. 

Hanura sebetulnya bisa dikatakan sebagai pecahan Partai Golkar sebagaimana juga Gerindra, Nasdem dan PKPI. Disebut sebagai pecahan Golkar, karena proses kelahirannya sedikit banyak berkaitan dengan kekecewaan seseorang bersama tim suksesnya karena gagal meraih kursi ketua umum partai berlambang beringin itu. 

Kemudian kekecewaan itu berbuah ide untuk membikin partai baru dan langsung menempatkan orang kuat yang menjadi pendirinya sebagai ketua umum, seperti Prabowo dengan Gerindra, Wiranto dengan Hanura, dan Surya Paloh dengan Nasdem.

Di antara partai-partai pecahan Golkar tersebut, yang saat ini terbesar adalah Gerindra. Bahkan kebesarannya sudah mengancam induknya, karena beberapa lembaga survei yang melakukan hitung cepat menempatkan Gerindra di atas Golkar, hanya kalah dari PDI-P. 

Namun ada juga yang menempatkan Golkar di atas Gerindra, karena perolehan suara kedua partai ini berbeda amat tipis. Tentu kepastiannya harus menunggu hasil perhitungan resmi dari KPU.

Dilihat dari sejarah pendiriannya, Gerindra baru berdiri 6 Februari 2008 lebih belakangan dari Hanura yang berdiri 21 Desember 2006. Jelaslah bahwa faktor usia partai tidak bisa dijadikan ukuran yang menjamin kelanggengannya. Apalagi kalau melihat PPP yang sudah ikut pemilu sejak 1977 sekarang posisinya di bawah PKB, yang juga bisa disebut sebagai pecahannya PPP.

Tanda-tanda kejatuhan Hanura sudah terbaca begitu Wiranto melepas jabatannya sebagai ketua umum, meski masih dapat posisi sebagai Ketua Dewan Pembina. Sejak dipimpin Oesman Sapta Odang (lebih populer disebut OSO), ribut-ribut di tubuh Hanura tidak terhindarkan lagi.

OSO berhasil naik menjadi ketua umum bisa jadi karena kekuatan dananya sebagai seorang pengusaha papan atas nasional. Tapi ketokohannya atau figurnya belum begitu "menjual", sehingga perolehan suara Hanura anjlok.

Keputusan Wiranto untuk melakukan regenerasi di Partai Hanura sebetulnya sudah tepat, karena bagaimanapun suatu saat kelak alih generasi harus terjadi. Kalau bisa lebih cepat, kenapa tidak?

Hanya saja Hanura tak punya figur kuat selain Wiranto. OSO pun usianya tidak tergolong muda, sudah 69 tahun, hanya terpaut 3 tahun dibanding Wiranto. 

Apakah Wiranto harus kembali memimpin Hanura? Partai Demokrat pernah melakukannya ketika SBY harus kembali memimpin untuk menyelamatkan partai setelah Anas Urbaningrum yang sempat secara mengejutkan terpilih jadi ketua umum pada kongres tahun 2010, terlilit kasus korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline