Tiga orang anak saya yang semuanya termasuk generasi milenial, kompak mengeluhkan kertas suara yang ukurannya sangat besar, setelah memberikan suara pada pemilu serentak baru-baru ini.
Awalnya ocehan anak saya tersebut saya nilai berlebihan, kemanja-manjaan khas gaya anak zaman sekarang. Kalau keluhan seperti itu datang dari para lansia yang tangannya sudah gemetar membuka dan melipat kertas suara, saya bisa memahami.
Justru yang saya temui di TPS tempat saya memberikan suara, beberapa orang lansia bersemangat membuka, menusuk, dan melipat kembali kertas suara, meskipun butuh waktu sekitar lima menit untuk menuntaskan semuanya.
Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, kehendak zaman memang tak bisa dilawan, sekarang eranya serba mudah dan cepat, sehingga ketika salah seorang anak saya nyelutuk bertanya, kenapa sih pemilu gak pakai model online (daring) saja, saya tidak heran. "Capek membuka dan melipat kertas yang gede banget, gak praktis", kata anak bungsu saya yang sengaja pulang ke Jakarta untuk ikut nyoblos. Ia kuliah di Jatinangor, Jawa Barat.
Anak saya yang nomor dua yang baru lulus kuliah dari Fakultas Ekonomi UI juga sependapat, sebaiknya Indonesia mulai menerapkan pemilu online sehingga bisa menghemat biaya besar-besaran. Tapi ia sekaligus juga pesimis, ide pemilu daring akan sulit terwujud justru karena melihat besarnya anggaran yang dihabiskan buat pemilu serentak tahun ini.
Setelah saya berselancar di dunia maya didapat informasi bahwa biaya pengadaan pemilu 2019 tercatat sebesar Rp 25,59 triliun, antara lain untuk pengadaan sekitar 900 juta lembar surat suara. Bayangkan ada rantai ekonomi yang terputus dari pabrik kertas, perusahaan percetakan, perusahaan ekspedisi, dan usaha lainnya yang terlibat, bila tiba-tiba dihapus berganti e-voting.
Belum lagi jutaan petugas yang pada pemilu bergaya konvensional diberi honor, akan menyusut jauh kebutuhannya bila menjadi pemilu daring. Maka akan banyak orang yang kecewa. Ada sekitar 800.000 TPS pada pemilu serentak tahun ini. Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menerima honor Rp 550.000, dan anggota KPPS mendapat honor Rp 500.000. Tapi honor tersebut harus dipotong pajak terlebih dahulu.
Banyak petugas KPPS yang bekerja bukan karena faktor honor, tapi karena niat tulus untuk turut serta menyukseskan pemilu. Tapi tidak sedikit pula petugas yang direkrut dari tenaga keamanan di lingkungan setempat yang tergiur karena honor, anggap saja sebagai rezeki tambahan di samping gaji bulanannya yang biasanya relatif kecil dari urunan bulanan warga.
Namun kalau kita menoleh ke negara lain, ternyata sudah ada contoh beberapa negara besar yang sukses menyelenggarakan pemilu daring seperti di Rusia, Brazil dan India.
Keberhasilan Rusia dapat dibaca di sini dan juga pengalaman India dan Brazil di link berikut ini. Masalahnya banyak juga negara maju yang lebih awal memulai pemilu online tapi kemudian kembali menggunakan metode konvensional.