Dulu namanya "Ramalan Cuaca", sebuah acara pendek yang rutin ditampilkan berbagai stasiun televisi. Ketika TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang beroperasi, acara ini menempel dengan siaran berita.
Mungkin istilah "ramalan" berkonotasi tidak ilmiah. Namanya kemudian menjadi "Prakiraan Cuaca", yang bersumber dari lembaga yang memang bertugas untuk memprediksi cuaca yang akan terjadi di berbagai kota di tanah air berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki para personelnya.
Masalahnya, amat jarang masyarakat yang sengaja mencari informasi tentang prakiraan cuaca sebelum beraktivitas di luar rumah. Biasanya orang-orang hanya menengadah ke langit, bila terlihat cerah, ya berarti aman.
Padahal, tidak selalu demikian. Betapa seringnya tiba-tiba awan gelap bermunculan dan tanpa bisa dihadang terjadilah hujan lebat. Bagi pengendara motor, mereka langsung menepi di pinggir pohon atau berlindung di bawah jembatan layang.
Saya pernah beberapa kali ikut pelatihan, dikirim kantor tempat saya bekerja, ke luar negeri. Di sana ternyata rata-rata warga setempat rutin memeperhatikan prakiraan cuaca dan suhu udara sebelum beraktivitas. Ini juga menyangkut dengan jenis pakaian yang akan mereka gunakan.
Sayang, kita yang tinggal di kawasan tropis ini mungkin tidak merasa perlu mencari informasi tentang cuaca. Akibatnya sewaktu-waktu terjadi hujan deras yang bahkan berlanjut menjadi banjir, banyak warga yang tidak siap.
Tak heran bila selalu saja ada korban saat banjir besar melanda suatu tempat. Korban dimaksud tidak selalu berarti korban nyawa, tapi juga korban yang terkurung di suatu tempat dan harus dievakuasi menggunakan sarana perahu karet kalau tim penanggulangan bencana datang ke lokasi banjir.
Saya sendiri karena masa kecil saya dihabiskan di Payakumbuh, Sumatera Barat, tidak punya pengalaman dengan banjir. Baru kemudian saat menuntut ilmu di Padang, sebuah kota yang tak jauh dari pantai, berkali-kali tempat saya kos terkena banjir sampai sebatas lutut.
Pernah suatu kali di bulan puasa, saat mau berbuka puasa, saya keluar kosan menuju sebuah warung makan. Karena hujan lebat tentu saya memakai payung.
Namun karena hujan, trotoar yang saya susuri tidak terlihat permukaannya. Tahu-tahu saya kejeblos masuk lubang yang ada di trotoar tersebut. Kaki saya terbenam hingga lutut, dan butuh usaha keras agar saya bisa kembali ke posisi normal.
Setelah menjadi warga Jakarta, beberapa kali saya terperangkap banjir. Pernah saya bertamu ke rumah saudara di Jalan Bangka, Jakarta Selatan di sore hari. Eh gak taunya selagi masih bertamu, hujan bagai dicurahkan dari langit deras sekali dan sampai tengah malam.