Minggu sore tanggal 10 Februari 2019 lalu, saya berkesempatan mengunjungi pulau hasil reklamasi di Jakarta Utara. Saya sudah menyimpan niat ke sana setelah dari jendela pesawat waktu mau mendarat dari Batam ke Jakarta akhir tahun lalu, saya melihat pemandangan yang menarik.
Rupanya jembatan yang menghubungkan kawasan Kapuk dengan sebuah pulau reklamasi telah beroperasi, dan konstruksi jembatannya lumayan ikonik. Dengan demikian sebetulnya hasil reklamasi tidak tepat disebut pulau lagi karena sudah terhubung dengan daratan Jakarta.
Segera saya mencari informasi dari dunia maya, ternyata pulau tersebut dinamakan Pulau D, satu dari empat pulau yang terlanjur jadi, sehingga tetap diperbolehkan Pemda DKI Jakarta beraktivitas, dan pengelolaannya ditangani oleh PT Jakarta Propertindo, badan usaha milik Pemda DKI Jakarta. Sedangkan untuk pulau lain yang belum digarap, sesuai putusan pengadilan, izinnya dicabut.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyinggung kasus hukum di seputar pembangunan pulau-pulau buatan tersebut, juga tidak menyinggung dampaknya dari aspek lingkungan hidup serta dampaknya pada kehidupan nelayan sekitar.
Apa yang saya lihat selama berkeliling pulau tersebut itulah yang saya tulis karena menurut saya kawasan ini berpotensi dikembangkan sebagai objek rekreasi baru, atau paling tidak untuk berburu kuliner.
Pulau D sudah diberi nama yang definitif, yakni Pantai Maju, maksudnya mungkin pantai yang maju atau menjorok ke laut dibanding garis pantai lainnya di wilayah Jakarta Utara. Tepat rasanya disebut sebagai pantai, bukan pulau.
Lagipula panjang jembatannya tidak terlalu panjang. Berbeda kasusnya dengan Kota Surabaya dan Pulau Madura yang juga sudah terhubung melalui Jembatan Suramadu, tapi Madura tetap layak disebut sebagai pulau.
Kualitas infrastruktur di Pantai Maju sudah terlihat oke. Di samping jembatan itu tadi, jalan rayanya lebar, mulus dan nyaman. Pepohonan di pemisah jalur jalan raya juga lumayan hijau.
Tapi satu-satunya hal yang bisa dinikmati publik yang berkunjung adalah dibukanya kawasan food street, itupun beroperasi secara terbatas dari pukul 16.00 sampai 24.00 WIB setipa harinya.
Saya yang kebetulan sampai di tempat sekitar pukul 16.00 malah belum menemukan gerai makanan yang buka, hanya beberapa yang sedang melakukan persiapan. Kata seseorang yang saya temui di sana, biasanya setelah magrib baru mulai ramai.
Deretan ruko empat lantai dengan bangunan bergaya Eropa sudah selesai dibangun. Namun belum terlihat tanda-tanda bahwa ruko tersebut sudah digunakan untuk aktivitas bisnis.