Judul di atas diambil dari pernyataan Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara saat membuka Pameran Karya Pers dan Teknologi Informasi dalam rangka Hari Pers Nasional 2019 di Exhibition Hall Grand City Surabaya, Kamis, 7 Februari 2019.
Rudiantara meyakini hal tersebut meskipun mengakui bahwa digitalisasi menjadi tantangan utama yang harus dihadapi oleh media arus utama. Tapi sepanjang insan pers selalu meningkatkan kemampuan dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, maka pers tak akan pernah mati.
"Saya yakin selama insan pers senantiasa menjaga etika profesional, melakukan cover both side, industri pers kita akan tetap jaya", ujar Rudiantara lebih lanjut sebagaimana dilansir dari viva.co.id, 8 Februari 2019.
Memang kalau diperhatikan dengan cermat, industri pers akan tetap tumbuh, hanya melalui medium yang lebih banyak berupa versi online (daring) ketimbang versi cetak. Ini suatu hal yang tak bisa dihindari.
Kelompok Kompas Gramedia misalnya, versi cetak koran Kompas makin tipis, sekarang hanya 24 halaman setiap hari, sebelumnya 32 halaman, bahkan di era 1990-an sering terbit dengan jumlah halaman yang lebih tebal lagi.
Sekarang kelompok tersebut yang masih tetap berhasil mempertahankan dominasinya pada industri pers tanah air, lebih mengembangkan versi daring yang terdiri dari kompas.id dan kompas.com. Belum lagi yang melalui "anak-anaknya" seperti tribunnews.com.
Masalahnya bagi media arus utama, baik versi cetak ataupun daring, adalah bagaimana memenangkan persaingan melawan berita atau tontonan yang viral di berbagai media sosial?
Atau sebaiknya media sosial tidak perlu dilawan, justru dijadikan referensi. Setiap hari pihak pers harus rajin memantau isu apa yang menjadi trending topic di media sosial, kemudian dijadikan sebagai objek pembahasan di media arus utama.
Namun pers jangan asal mengutip dari media sosial saja. Sebagai pembuka objek pembahasan boleh-boleh saja, sekadar untuk memancing minat pembaca. Tapi setelah itu "bedah" dari berbagai aspek termasuk dengan melakukan check and recheck, sehingga kalau yang di media sosial itu berbau kebohongan atau bagian dari ujaran kebencian, pers jangan takut untuk mengambil posisi sebagai pihak yang mengoreksi.
Jadi, intinya pers harus ikut melek media sosial, bahkan ikut memanfaatkannya, tapi dilanjutkan sebagai pihak yang menyaring dan memberikan informasi yang akurat dan mencerahkan kepada masyarakat.
Dalam hal ini mutlak dituntut independensi insan pers yang bebas dari kepentingan apapun, termasuk kepentingan politik praktis dan kepentingan pemilik modal industri pers itu sendiri.