Kalau ada yang merasa aneh dengan judul di atas, maka berarti dugaan saya tepat. Saya awalnya memang sudah ragu memakai judul itu, takut dibilang: "ya iyalah, orang kaya kalau berbahagia bukan hal aneh, tak perlu dibahas".
Masalahnya begini, cukup banyak tulisan tentang bahagia yang tidak tergantung pada uang, hal yang saya setuju seratus persen. Tapi tidak berarti orang kaya berkemungkinan besar tidak berbahagia karena sibuk mengurus harta dan tidak hangat dalam hubungannya dengan keluarga sendiri, apalagi dengan teman dan tetangga.
Penggambaran orang kaya yang kalah bahagia dari orang yang hidup sederhana sering muncul dalam puisi, lagu, cerpen, novel, dan film. Lagu tentang orang kaya yang mabuk kepayang, cukup banyak. Orang kaya identik dengan sombong, suka dugem, berfoya-foya, dan merasa semua bisa dibeli dengan uangnya.
Sedangkan orang sederhana digambarkan hubungan kekeluargaannya lebih akrab, makan lahap meski hanya nasi dengan lauk tempe, tidur nyenyak meski di tikar lusuh.
Kebetulan ide tulisan ini lahir setelah saya menonton film nasional berjudul "Orang Kaya Baru", setelah sebulan sebelumnya saya menonton "Keluarga Cemara".
Kedua film itu seperti bertolak belakang. Orang Kaya Baru tentang keluarga sederhana tiba-tiba jadi kaya, sedangkan Keluarga Cemara berkisah dari keluarga kaya menjadi miskin.
Tapi kalau dicermati, pesan moral kedua film itu sama, yakni kebahagiaan lebih berpihak pada orang-orang yang secara materi pas-pasan saja.
Orang Kaya Baru diakhiri dengan pernyataan bahwa ternyata tinggal di rumah kecil di gang sempit dirindukan kembali, setelah mengetahui tinggal di rumah mewah membuat masing-masing anggota keluarga sibuk sendiri-sendiri.
Seolah-olah dengan menjadi kaya, kebahagiaan yang dulu ada tercabut seketika, meski saat awal menjadi kaya mereka begitu gembira. Lama-lama mereka sadar sudah kehilangan momen kehangatan makan bersama sekeluarga dengan perbincangan yang hangat.
Keluarga Cemara juga seperti itu. Sebuah keluarga berada tiba-tiba jatuh miskin dan terpaksa pindah dari kota besar ke kampung. Awalnya mereka terlihat shock. Namun kemudian, setelah keluarga yang mendadak miskin tersebut punya kesempatan untuk kembali tinggal di kota besar, mereka lepas karena sudah mulai nyaman dan menemukan kebahagiaan dengan hidup di desa.
Tak ada yang salah dengan kisah di kedua film tersebut, karena dalam kehidupan sehari-hari, mungkin saja kita temui. Seperti pengalaman saya sendiri yang berasal dari orang tua yang hidup sederhana, alhamdulillah kami sekeluarga merasa hepi-hepi saja.