Baru-baru ini saya hampir seharian luntang-lantung dengan seorang teman lama, teman sewaktu kuliah dulu, untuk menghabiskan waktu di hari libur Sabtu. Kebetulan si teman yang berdomisili di Surabaya sedang di Jakarta, dan mengontak saya ingin ketemu.
Saya tahu ia memang sangat gemar menonton film di bioskop. Lalu saya tawarkan untuk nonton film yang langsung disetujuinya. Dari gawainya sang teman langsung mencari informasi film apa saja yang lagi diputar. Yang kelihatannya menarik, ia baca sinopsis dan melihat cuplikan videonya.
Dari belasan film yang diputar, ada 4 film nasional yang sama sekali tak diliriknya. Kenapa begitu? Saat saya tanya alasannya, ia sudah punya mindset bahwa film nasional pasti jelek, tidak membangkitkan selera katanya.
Saya mencoba untuk berdebat, sayang sama sekali tidak digubrisnya, sehingga saya mengalah dengan ikut pilihannya menonton film produksi Hollywood berjudul "Escape Room". Saya memang netral saja, dalam arti film dari negara manapun, oke saja, sehingga tetap dapat menikmati ketegangan di film yang berkisah tentang beberapa orang yang terjebak di sebuah gedung.
Namun keinginan saya untuk menikmati film nasional yang menurut perkiraan saya cukup asyik, seperti "Orang Kaya Baru" atau "Preman Pensiun", belum lagi kesampaian, mudah-mudahan ada kesempatan lain.
Film adalah produk industri kreatif sebagaimana juga musik, game, komik dan produk aminasi, novel, tayangan televisi, kompetisi di liga sepak bola, dan sebagainya. Nah, seperti teman saya itu tadi, ternyata tak sedikit orang Indonesia yang merendahkan produk kreatif bangsa sendiri.
Ada teman saya yang lain, yang begitu fanatik mendengar musik, tapi semua musik barat. Lagu-lagu dari negeri sendiri dipukul rata semua sebagai lagu kacangan. Konser band lokal sama sekali tidak menggugah seleranya, tapi bila konser penyanyi asing, jauh-jauh hari si teman sudah memesan tiket, takut kehabisan.
Ada pula teman yang betul-betul penggila bola. Ia hafal banget seluk beluk liga Inggris, Spanyol atau Italia, tapi tak mau tahu dengan Liga 1 Indonesia. Apalagi dengan terkuaknya kasus pengaturan skor di Indonesia membuat saya kehilangan amunisi bila berdebat dengannya. Ia sudah punya opini sendiri bahwa sampai kapanpun sepak bola Indonesia gak bakal maju.
Selera memang masalah yang subjektif dan tidak bisa diperdebatkan. Tapi "selera" tak bisa dikambinghitamkan bila belum mencoba secara langsung melihat, membaca, atau mendengar, sudah duluan men-judge, bilang gak suka.
Maka bagi yang belum terpapar "virus" seperti beberapa teman saya di atas, saya tak akan bosan mengajak, jangan antipati duluan terhadap produk kreatif dalam negeri. Coba dulu dong, kalau perlu mencobanya sampai dua-tiga kali. Kalau sampai tiga kali tetap merasa mau "muntah", ya saya mau bilang apa. Tapi saya sangat yakin dengan kata pepatah, "tak kenal maka tak sayang".
Dan saran tersebut berlaku juga untuk banyak produk lain, terlepas apakah produk tersebut masih termasuk industri kreatif atau bukan, seperti pakaian dan asesorisnya, tas, sepatu, makanan, minuman, obat-obatan, untuk sekadar menyebut beberapa contoh.