Saya belum lama ini menghadiri resepsi pernikahan anak dari seorang rekan kerja. Tepatnya mantan rekan kerja, karena dulu untuk waktu yang cukup lama, saya dan si pengundang sering berkoordinasi untuk keberhasilan suatu program di perusahaan tempat kami bekerja.
Sekarang rekan tersebut posisinya jauh di atas saya, sehingga saya merasa bersyukur kalau masih diingatnya dan diundang di resepsi pernikahan anaknya.
Padahal sekarang ia, atau lebih sopannya "beliau", sudah menjadi direktur, tetap di perusahaan tempat saya pernah berkarir. Sedangkan saya sudah purnabakti di perusahaan itu, dan meneruskan di perusahaan sejenis tapi hanya part time.
Begitu saya sampai di tempat acara, ballroom sebuah hotel berbintang di Jakarta Selatan, saya langsung mengisi buku tamu dan siap-siap mengambil amplop yang telah stand by di kantong kemeja batik yang saya pakai untuk dimasukkan ke kotak tempat amplop.
Tapi setelah saya tanya ke penerima tamu mana lobang tempat memasukkan amplopnya, dijawab dengan sopan bahwa yang punya hajat memang sengaja tidak menerima amplop. Saya melongo sambil memasukkan kembali amplop ke saku. Alhamdulillah.
Padahal berdasarkan pengalaman sebelumnya, saat pejabat yang lebih tinggi, katakanlah seorang direktur utama, mengadakan resepsi, tetap menerima amplop. Bahkan banyak bawahannya dan juga para mitra dari perusahaan yang dipimpinnya yang sungkan, sehingga amplop yang dimasukkan lebih tebal.
Amplop, tentu maksudnya uang sumbangan yang terselip di dalamnya, sudah menjadi budaya pada setiap acara pernikahan yang diberikan para undangan.
Hal ini sudah berlangsung sejak sekitar 20 tahun lalu, pengganti kado berupa barang yang menjadi budaya lama dan sekarang dinilai tidak praktis.
Di samping itu amplop juga bisa ditafsirkan sebagai manifestasi dari semangat gotong royong untuk meringankan beban yang punya hajat.
Dulu dalam budaya pernikahan di pedesaan, gotong royong tersebut tergambar antara lain dari sumbangan berupa bahan makanan dan ikut memasak bersama.
Namun dalam perkembangannya sekarang, amplop semakin bergeser maknanya, bukan sebagai manifestasi gotong royong, tapi ke arah berkaitan dengan untung rugi.