Begitu saya masuk kantor setelah libur sejak tanggal 20 Desember 2018, saya dan beberapa teman merasa terkejut, ternyata ada salah seorang dari kami yang berjumlah 7 orang dan bekerja di satu ruangan yang sama, yang mengalami langsung bencana tsunami Selat Sunda sekitar dua minggu yang lalu.
Alhamdulillah, teman tersebut, sebut saja namanya Tini, berhasil menyelamatkan diri. Buktinya sekarang ia sudah aktif ngantor dan secara fisik terlihat sehat.
Bahkan ia mampu dengan lancar menceritakan pengalamannya yang mencekam, meskipun bercampur dengan ekspresi ketakutan. Tentu rasa takut itu suatu hal yang wajar mengingat dahsyatnya bencana yang belum begitu lama terjadi di depan matanya.
Dari cerita Tini itulah, saya coba menuangkan kembali dalam tulisan ini, tentu dengan gaya bahasa saya sendiri. Perlu diketahui, nama Tini sendiri adalah nama samaran yang saya sengaja karena mempertimbangkan perasaan sang teman yang mungkin masih terguncang dengan pengalaman tersebut.
Tulisan ini semata-mata mengandalkan ingatan saya setelah mendengar cerita Tini, karena saya tidak merekamnya. Jadi, sangat mungkin tidak persis sama dengan kisah nyata yang dialami Tini tersebut.
Toh tujuan saya bukan soal akurasi kisahnya, tapi lebih kepada berbagi pengalaman serta menemukan hikmah yang barangkali dapat dipetik oleh para pembaca Kompasiana, karena yang namanya bencana dapat menimpa siapa saja dan kapan saja.
Sabtu siang 22 Desember 2018, Tini dan rombongannya yang terdiri dari suami, 3 orang anak (1 diantaranya masih berusia 5 tahun), 2 orang keponakan, dan juga ibu kandung Tini yang sudah berumur 71 tahun, lagi bergembira. Mereka sedang dalam perjalanan untuk menuju sebuah vila yang terbilang megah di Anyer. Di vila tersebutlah mereka akan bermain dan menginap.
Tini merasa beruntung dibolehkan pemilik vila, yang masih anggota keluarga dari seorang public figure karena wajahnya sering nongol di tivi, untuk memakai vilanya. Kebetulan Tini kenal baik dengan sang pemilik.
Rombongan Tini berangkat ke Anyer menggunakan mobil rental dari perusahaan yang sudah punya nama baik karena juga punya armada taksi yang paling terkenal di Jakarta.
Ada diskusi panjang di intra keluarga Tini, sebelum sepakat menyewa, bukan membawa mobil sendiri. Mobil sewaan pun juga dengan perjanjian mengantar ke lokasi, lalu menjemput lagi rencananya hari Senin siang, setelah 2 malam di Anyer. Padahal juga ada pilihan lain, yakni mobil sewaan tersebut ikut stand by selama di vila.
Ringkas cerita, perjalanan mereka terbilang lancar, hanya butuh sekitar 3 jam dari rumah Tini di Jakarta Selatan, mereka pun sampai di tujuan. Ada yang mengusik pikiran Tini, saat pemilihan kamar, ibunya bersikukuh ingin di kamar lantai atas, padahal kan capek naik tangga bagi orang lansia.