Jalan raya yang menghubungkan kota Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat, dengan Bukittinggi, destinasi wisata paling terkemuka di Sumatera bagaian tengah, yang mencakup provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi, sejak Senin (10/12) malam tidak bisa dilewati menyusul ambruknya sebuah jembatan di Pasar Usang, Nagari Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman.
Sampai kemaren sore (11/12) menurut beberapa berita media daring, jalur yang sangat vital peranannya bagi masyarakat Sumbar karena kepadatan lalu lintasnya itu, masih lumpuh. Namun warga setempat dan TNI tampak membuat jembatan darurat agar bisa dilalui pejalan kaki dan kendaraan roda dua.
Jembatan darurat tersebut dibuat dari batangan kayu dan bambu, kemudian ditimbun dengan pasir (kumparan.com, 11/12). Mengingat sekarang masih musim hujan, kalaupun jembatan sementara itu sudah bisa dilewati motor, tetap harus sering dipantau kondisinya, agar tidak memakan korban.
Namun, bagi kendaraan roda empat, terpaksa harus melewati jalan memutar, bila dari Padang ke arah Bukittinggi, sebelum Kayutanam, belok kiri melalui Malalak untuk selanjutnya bisa keluar di jalur Padang Panjang-Bukittinggi.
Tapi bagi bus dan truk yang butuh jalan yang lebih lebar, sebaiknya dari Padang megambil jalur arah timur ke kota Solok, lalu ke utara melewati Danau Singkarak, masuk kota Padang Panjang dan seterusnya kembali ke jalur utama arah Bukittinggi. Namun jalur ini lumayan jauh tambahan jarak tempuhnya dan juga butuh konsentrasi tinggi terutama antara Padang-Solok yang menanjak dan banyak tikungan
Jalur Padang-Bukittinggi tersebut sebetulnya berstatus jalan negara, karena dari Bukittinggi berlanjut ke Pekanbaru, Riau. Artinya, ini adalah jalan utama yang menghubungkan dua ibukota provinsi sejauh sekitar 300 km dengan waktu tempuh sekitar 8 sampai 10 jam.
Jarak sejauh itu kalau di kawasan Pantura lebih kurang sama dengan jarak Jakarta-Tegal dengan waktu tempuh sekitar 5 sampai 6 jam, karena sudah ada tol sampai Brebes, kota yang dekat sekali dari Tegal.
Masalahnya meskipun jalan Padang-Pekanbaru relatif baik, tapi tak bisa ditempuh dengan kecepatan tinggi mengingat kontur jalan dari Kayutanam sampai Bukittinggi serta di sekitar kawasan Kelok Sembilan yang banyak tanjakan dan tikungan.
Apalagi sejak beberapa tahun terakhir ini, sebagai dampak dari peningkatan kesejahteraan masyarakat, warga yang memiliki kendaraan roda empat demikian banyak, walaupun banyak mobil yang sudah berusia di atas 10 tahun. Akibatnya, kemacetan di jalan Padang-Pekanbaru (tidak sekadar Padang-Bukittinggi) tergolong parah.
Makanya rencana pemerintah untuk membangun jalan tol Padang-Pekanbaru sungguh didambakan masyarakat setempat, termasuk juga menjadi dambaan para perantau asal Minang yang biasanya minimal satu tahun sekali pulang ke kampung halamannya. Tentu para wisatawan akan lebih senang pula bila dari bandara Minagkabau International Airport punya akses yang cepat ke Bukittinggi.
Sayangnya, realisasi pembangunan jalan tol tersebut masih banyak terkendala dengan pembebasan lahan yang relatif rumit bila melewati tanah ulayat dengan hak kepemilikan sesuai adat Minangkabau.