Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

"Intangible Assets", Kekayaan Penentu di Era Milenial

Diperbarui: 12 Desember 2018   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: 123RF

Selama ini kalau berbicara tentang aset atau harta yang dimiliki orang secara pribadi, yang terbayang tentu saja rumah yang luas dan megah, mobil yang mewah, perhiasan emas dan permata yang indah, pakaian dan asesoris yang wah, dan hal lain yang kasat mata. Ada juga yang tidak kasat mata, tapi tercatat dokumen yang menunjukkan kekayaannya seperti deposito, saham dan obligasi.

Kekayaan perusahaan pun lebih kurang sama, tapi tentu dengan ukuran yang jauh lebih besar dibanding kekayaan pribadi. Misal kalau seseorang punya rumah lima buah, sudah layak dibilang kaya raya. Tapi bagi perusahaan besar, gedung kantornya bisa saja ratusan yang tersebar di banyak kota. Sedangkan kantor pusatnya sangat mentereng, sebuah gedung setinggi 50 lantai di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.

Itu baru gedung, belum lagi kendaraannya. Kalau satu kantor cabang punya sekitar 10 kendaraan, tentu jumlah mobil perusahaan tersebut bisa ribuan. Jika perusahaan tersebut berupa manufaktur, pabrik dengan semua mesin-mesin dan alat produksi lainnya, pasti besar pula nilainya. 

Atau kalau berupa maskapai penerbangan yang punya 100 pesawat, taksir sendiri jumlah asetnya, walaupun sangat mungkin untuk membeli aset tersebut, perusahaan itu meminta kredit dari bank.

Nah, dalam perkembangannya, aset yang kasat mata karena wujud fisiknya terlihat jelas, bukan lagi jadi jaminan sebuah perusahaan akan selalu berjaya. Di era sekarang, justru banyak perusahaan yang asetnya berupa aplikasi yang dikembangkan sedemikian rupa, yang nilainya tak kalah dengan gedung tinggi, tapi tak kelihatan wujud fisiknya, sehingga disebut sebagai intangible assets

Gojek atau Grab punya puluhan ribu kendaraan, namun milik mitranya, bukan asetnya Gojek atau Grab. Ada juga perusahaan yang tak punya barang apapun, tapi aplikasinya menyediakan tempat bagi ribuan pedagang untuk membuka lapak di dunia maya, dan jutaan konsumen membeli dari platform seperti itu.

Ada pula yang tidak punya pesawat terbang atau hotel, tapi jutaan orang membeli tiket pesawat dan memesan hotel dari aplikasi tertentu yang dibangun sebuah perusahaan. 

Ada yang tak punya bank, tapi berhasil menciptakan peer to peer lending, di mana orang yang punya uang bisa menabung dan yang butuh uang silakan meminjam, cukup dari gadget di tangannya. 

Itu semua membuktikan bahwa di era milenial, peran strategis tangible assets, mulai tergerus oleh kecanggihan intangible assets. Jadi, kaya tidaknya sebuah perusahaan tidak lagi dilihat dari gedungnya yang menjulang tinggi, tapi dari berapa nilai aset non-fisiknya. 

Agak susah memang menaksir nilainya, tapi dengan estimasi para pakar di bidangnya, jangan kaget kalau investor asing berani mengucurkan dana triliunan rupiah kepada perusahaan Indonesia yang mengembangkan intangible asset-nya. Maka, kurang lebih berarti sebegitulah nilainya. 

Sebelum bisnis melalui dunia maya marak, terminologi intangible assets sudah lama dikenal dalam ilmu manajemen atau akuntansi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline