Saat ini kasus yang menimpa Baiq Nuril, seorang wanita mantan guru honorer di SMA Negeri 7 Mataram, menjadi ujian dalam penegakan hukum di negara kita. Seperti yang ditulis cnnindonesia.com (14/11), Nuril yang merasa sebagai korban pelecehan seksual dari atasannya yang menjadi kepala sekolah di SMA tersebut di atas, malah dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung berupa enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Tentang seorang korban yang terkena hukuman, sebetulnya bukan barang baru di negara kita. Koran Kompas (21/11) pada rubrik "Arsip" kebetulan mengungkap kembali kasus yang menimpa seorang gadis desa berusia 17 tahun yang berjualan telor di Yogyakarta. Gadis yang bernama lengkap Sumariyem dan lebih dikenal dengan Sum Kuning itu, diperkosa empat pemuda berambut gondrong. Hal ini sesuai dengan pengakuan terus terang Sum pada sidang tertutup 16 November 1970.
Merdeka.com (15/1/2013) yang juga menulis kembali kasus tersebut mengungkapkan bahwa pemerkosaan itu terjadi pada September 1970 tanpa menyebut tanggalnya. Sedangkan pelakunya adalah anak-anak penggede di Yogyakarta ketika itu. Hasil visum membuktikan bahwa Sum memang diperkosa.
Tapi polisi malah menyiksa Sum dalam tahanan. Sum dijadikan tersangka pencemaran nama baik. Sum bahkan disuruh membuka pakaiannya untuk mencari tanda palu arit, karena ia dituduh terlibat di Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang terlarang. Demikian yang ditulis buku tentang Hoegeng, Kapolri ketika itu, yang diterbitkan Penerbit Bentang
Berita Sum Kuning cukup lama menghiasi media masa, bahkan bertahun-tahun dari 1970 hingga 1973 karena penanganan kasusnya yang kontroversial. Karena menjadi sorotan masyarakat dan juga mendapat tekanan dari pihak media, kasus ini yang di tahap awal persidangannya dilakukan secara tertutup, akhirnya dilakukan secara terbuka.
Menurut merdeka.com di atas, skenario yang disiapkan jaksa untuk memutarbalikkan fakta adalah dengan memaksa pedagang bakso bernama Trimo mengaku telah berhubungan badan dengan Sum. Tapi untunglah Sum diselamatkan oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta ketika itu, Lamijah Moeljarto. Sum dibebaskan karena tidak terbukti membuat laporan palsu.
Bahkan Lamijah membeberkan penderitaan Sum selama ditahan polisi, mulai dari tidak diberi makan, diancam dipenjarakan, bahkan akan disetrum. Begitu juga Trimo yang disiksa dengan dipilin jari-jari tangannya.
Kapolri Jenderal Hoegeng yang terkenal berintegritas tinggi, setelah mengetahui hal itu mengancam akan menyeret anak-anak pejabat yang memerkosa Sum. Ironisnya, Kapolri Hoegeng beberapa bulan kemudian dicopot oleh Presiden Soeharto.
Namun, meskipun proses persidangannya amat lama, sampai 39 kali sidang, akhirnya pada November 1973, dua orang yang terbukti memerkosa Sum, dijatuhi hukuman penjara 4 tahun 6 bulan potong masa tahanan. Sementara itu, lima terdakwa lainnya dibebaskan dari tuntutan karena tidak ada bukti.
Begitulah memang, hukum yang harusnya berkeadilan, jika menimpa rakyat kecil seperti Sum Kuning, tampaknya sulit untuk mendapatkan keadilan tersebut. Kasus Sum Kuning karena saking seringnya diberitakan media masa, menginspirasi seorang sutradara film terkenal, Frank Rorimpandey, untuk membuat film berjudul "Perawan Desa".
Film itu bercerita tentang kisah nestapa Sum Kuning yang diperankan oleh Yati Surachman. Dalam Festival Film Indonesia 1980, film Perwan Desa mendapat tiga peghargaan, yakni untuk sutadara terbaik, skenario terbaik yang ditulis Putu Wijaya dan penyuntingan terbaik oleh Casim Abbas.