Agar film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri, maka syarat mutlak adalah bagaimana memproduksi film yang mampu merebut hati penonton. Di lain pihak para penonton pun digugah untuk punya keinginan menonton, tidak langsung memberikan penilaian bahwa film nasional pasti gitu-gitu saja, padahal belum nonton secara utuh.
Kebetulan di antara beberapa film nasional yang sejak beberapa hari lalu sampai sekarang lagi tayang di banyak bioskop, ada 2 film yang oleh sebagian penonton dibawa-bawa ke ranah politik, sehingga bila seseorang menonton film A, maka pasti orientasi politiknya ke capres nomor 01, dan penonton film B ke capres 02.
Akibatnya penonton film A akan memuji film A habis-habisan dan menjelekkan film B, padahal belum tentu yang menjelekkan tersebut sudah menonton film B. Begitu pula sebaliknya. Kedua film dimaksud adalah A Man Called Ahok (AMCA) dan Hanum & Rangga (HR), yang sama-sama diangkat ke layar lebar berdasarkan buku best seller.
Menyadari hal tersebut bisa berdampak tidak baik bagi persatuan bangsa, Daniel Mananta, pemeran Ahok di film AMCA dan Arifin Putra, pemeran Andy Cooper produser sebuah stasiun televisi di New York di film HR, kompak melakukan suatu hal yang simpatik.
Seperti yang terlihat pada instagram Daniel, mereka berdua saling mendukung demi kesuksesan film nasional. Daniel ditemani oleh Arifin untuk menonton HR, setelah itu gantian Arifin yang didampingi Daniel menonton AMCA.
Jadi tak perlu antipati bahwa bila seseorang menyukai AMCA, pasti ia tak menyukai HR atau sebaliknya. Ini bukan pilpres yang hanya boleh memilih satu calon, karena memilih dua calon malah suaranya dianggap hangus. Kalau punya uang dan kesempatan, kenapa tidak menonton kedua film tersebut?
Ternyata pada hari libur Selasa (20/11) seperti terlihat di bioskop yang ada di sebuah mal di Jakarta Selatan, beberapa orang menonton 2 film tersebut secara berurutan. Misalkan jam 2 siang mereka menonton AMCA, maka pada jam 4.30 sore mereka menonton HR.
Tak heran kalau yang menonton AMCA banyak di antaranya ibu-ibu berhijab. Sedangkan penonton HR yang memang berlabel film religi, tidak sedikit ibu-ibu yang tidak berhijab. Dan memang kedua film tersebut mengandung hikmah yang saling melengkapi.
Jarang yang menyebut AMCA sebagai film religi. Namun bila dihayati, meskipun tokoh yang diceritakan bukan pemeluk agama Islam, nilai-nilai yang diangkatnya justru sangat islami. Betapa tidak, kedermawanan Ayah Ahok membantu orang miskin dan keteguhan Ahok menegakkan prinsip kejujuran, bukanlah sinkron dengan ajaran Islam?
Nilai religi secara implisit ala keluarga sederhana di sebuah kampung di Belitung Timur sebagai praktik keseharian, merupakan hal yang layak diteladani dari AMCA tanpa penonton merasa dikhotbahi.
Nah, keteladanan di atas akan lengkap bila ditambah dengan wawasan yang luas tentang kehidupan keseharian di jantung kota terbesar di dunia, New York, dan singgungannya dengan pergaulan antar umat beragama dalam HR.