Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dulu di dekade 1980-an sampai 1990-an, adalah obyek wisata utama di ibukota Jakarta, taraf kepopulerannya sama dengan Dunia Fantasi di Ancol. Sedangkan obyek lain seperti Monas dan Kebon Binatang Ragunan, peringkatnya di bawah itu.
Makanya bagi orang-orang dari berbagai daerah yang lagi berkunjung ke Jakarta, Ancol dan TMII menjadi sasaran untuk jadi tempat rekreasi yang mesti didatangi, meskipun tarif masuknya tidak terbilang murah bagi kebanyakan orang.
Sekarang, saat Ancol semakin kokoh di peringkat atas dengan berbagai inovasi, TMII jangankan menciptakan hal baru sebagai pengembangan, merawat apa yang telah ada saja, terlihat tertatih-tatih. Alhasil, TMII semakin tertinggal dan terkesan kurang bergairah.
Seperti terlihat di hari Minggu (4/11) kemaren, mungkin karena dampak musim kemarau panjang, taman tempat miniatur pulau-pulau se nusantara, terlihat agak gersang, dengan air di saluran air di pinggir taman, agak keruh dan kotor.
Sampah dari pengunjung di tempat-tempat tertentu sedikit mengganggu pemandangan. Alur kendaraan di bagian depan setelah melewati gerbang masuk, kurang tertib. Para petugas lebih memprioritaskan kendaraan yang menuju gedung yang dipakai untuk resepsi pernikahan, ketimbang kendaraan yang mau berkeliling TMII.
Memang, kalau disebut sama sekali tidak ada yang baru, juga keliru. Paling tidak di era reformasi ini, telah dibangun sebuah paviliun tempat menampilkan berbagai hal yang berkaitan dengan budaya keturunan Tionghoa di Indonesia, yang dinamakan Taman Budaya Tionghoa Indonesia.
Dengan hadirnya paviliun tersebut semakin memperkokoh keberagaman kita, karena untuk budaya dari masing-masing provinsi, sudah ada sejak lama. Sedangkan keturunan Tionghoa yang tersebar di semua provinsi, belum terwakili sebelumnya.
Banyak patung yang terdapat di Taman Budaya Tionghoa Indonesia tersebut, seperti patung Khong Hu Cu. Ada pula patung pahlawan nasional yang berdarah Tionghoa, Jhon Lie, yang dulu adalah seorang tentara dari Angkatan Laut.
Tapi secara umum dapat dikatakan bahwa TMII kurang greget. Keramaian yang ada di hari libur terbantu dengan larisnya beberapa gedung di sana yang disewa untuk resepsi pernikahan. Inilah yang membuat TMII masih berdenyut, meskipun pengunjung tersebut jarang yang sekalian berwisata.
Keramaian juga agak terbantu bila ada paviliun dari provinsi tertentu yang lagi menggelar acara bertema kebudayaan tradisional. Komunitas perantau di Jakarta sering pula mengadakan pertemuan di anjungan provinsi dari mana mereka berasal, seperti saat halal bihalal atau reuni.
Tapi bila tidak ada acara seperti itu, TMII relatif sepi, termasuk di tempat yang dulu amat populer seperti Teater Keong Mas, Taman Burung, Istana Anak, dan sebagainya. Apalagi berbagai museum, yang saat TMII berjaya saja, tidak menjadi favorit bagi pengunjung, sekarang semakin sepi saja.
Konon, meski hal ini perlu diklarifikasi kepada pihak yang berwenang, ada kekurang jelasan tentang siapa atau yayasan apa yang sekarang secara legal diakui memiliki dan mengelola TMII.