Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Membantu Korban Bencana dengan Sepenuh Hati

Diperbarui: 16 Oktober 2018   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.konfrontasi.com

Banyak perusahaan yang dalam promosinya memakai kalimat: "Melayani dengan Sepenuh Hati" atau yang senada dengan itu. Tapi belum tentu semua karyawannya bisa menerapkan jargon itu secara baik waktu melayani pelanggannya.

Demikian juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Di satu sisi kita gembira, meskipun bencana seolah bertubi-tubi melanda negara kita, tapi dengan semangat kegotongroyongan yang masih terpelihara, banyak masyarakat yang tergerak hatinya untuk meberikan bantuan.

Waktu baru-baru ini tsunami menimpa Palu dan sekitarnya, segera berbagai pihak mengadakan pengumpulan dana, semacam membuka dompet amal, baik yang dikelola lembaga sosial, organisasi keagamaan, media cetak dan elektronik, sampai kepada personil yang meminta sumbangan di perempatan jalan.

Mungkin ada pihak yang meragukan akuntabilitas penyaluran bantuan yang dilakukan oleh sukarelawan yang menyongsong pengendara di perempatan jalan, tapi bisa diyakini bahwa si pemberi bantuan sangat ikhlas dan percaya sepenuhnya kepada niat baik sukarelawan. 

Bagi yang meragukannya, biasanya akan menyalurkan bantuan melalui yayasan yang telah dikenal reputasinya atau yang dikoordinir oleh media cetak dan elektronik yang rutin mengumumkan penerimaan dana dan penyalurannya.

Di samping banyak yang menyumbang dalam bentuk dana atau makanan, pakaian, dan barang lainnya, tentu kita harus angkat topi dengan para relawan yang rela meninggalkan kota tempatnya berdomisili, kemudian terbang ke kota tempat bencana. 

Dengan hadir langsung di daerah yang terkena bencana, maka bantuan yang diberikan oleh para relawan tidak saja berupa dana dan barang, tapi juga tenaga, waktu dan pikiran.

Tak sedikit pula mereka yang langsung on the spot tersebut adalah para profesional, seperti dokter, psikolog, ulama, guru, bahkan ada yang chef dari hotel bintang lima. Mereka ikhlas kehilangan pendapatan karena cuti dalam bekerja, dan malah mengeluarkan banyak uang untuk ongkos transpor, akomodasi, dan yang diberikan kepada korban bencana di tenda pengungsian.

Maka rasanya agak berlebihan kalau ada yang meragukan apakah para relawan terjun langsung itu telah memberikan bantuan dengan sepenuh hati. Kalau politisi bisa jadi ada niat untuk pencitraan yang mendompleng. Tapi untuk relawan, pasti jauh dari niat pencitraan, mejeng di media sosial dengan foto saat beraksi membantu korban bencana, atau ingin menuai pujian.

Masalahnya bagi relawan, mungkin sesuatu yang tidak disadarinya, sehingga niat yang baik saja belum tentu berhasil secara efektif. Maksudnya, dalam berkomunikasi dengan warga yang lagi berkumpul di lokasi evakuasi atau tenda pengungsian, bisa saja muncul salah persepsi di kedua pihak, yang membantu dan yang dibantu. 

Adalah wajar bila warga yang baru ditimpa bencana banyak mengeluarkan keluhan, uneg-uneg, atau yang bernada permintaan. Tapi bila relawan atau aparat yang bertugas kurang sabar mendengar curhat seperti itu, lalu memotong dengan mengatakan "kami sudah tahu" atau "kami bisa merasakannya", mungkin akan mendatangkan perasaan kurang puas bagi warga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline