Saya merasa beruntung masih diberi kesempatan menonton film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta", Rabu (19/9) siang yang lalu, meskipun saya terpaksa pergi sendiri tanpa ditemani keluarga seperti yang sering saya lakukan.
Soalnya saat kami ke bioskop dua minggu lalu, ketika Sultan Agung baru diputar di beberapa bioskop, saya mengalah ikut pilihan yang lain menonton "Wiro Sableng". Giliran mingu lalu, semua kompak memilih "Crazy Rich Asians".
Karena sudah dua minggu, saya pikir Sultan Agung sudah tak beredar lagi, karena film ini tak begitu gencar promosinya, kalah gaung dari Wiro Sableng. Eh ternyata masih ada dua bioskop yang menayangkan, meski hanya untuk dua kali pertunjukan sehari (normalnya satu layar punya jadwal 4 sampai 5 kali penayangan setiap hari).
Kekawatiran saya memang terbukti, bahwa film sejarah susah lakunya. Saat saya menonton, hanya belasan kursi terisi dari kapasitas sekitar 135 kursi. Saya tidak yakin, apakah besoknya pemilik bioskop masih bersedia memutar.
Padahal, untuk membuat film sejarah, atau film berlatar belakang sejarah, dibutuhkan biaya yang amat besar terutama untuk riset, properti, seta membangun setting yang pas dalam menggambarkan masa lalu.
Seperti yang saya saksikan pada film Sultan Agung, adegan kolosal penyerangan Kerajaan Mataram merebut benteng VOC di Batavia, tersaji dengan baik, tak kalah dengan film-film asing sejenis. Demikian pula penggambaran Batavia di tahun 1600-an, cukup sesuai dengan imajinasi saat dulu saya membaca buku sejarah.
Hanya setting keraton yang menjadi singgasana Raja Mataram, menurut saya kurang megah bila diingat bahwa Mataram adalah kerajaan besar setelah berakhirnya era Majapahit.
Mataram memang tidak berhasil merebut benteng VOC, tapi pesan Sultan Agung yang menekankan bahwa penyerangan tersebut tetap diperlukan untuk membuktikan bahwa rakyat tidak takut terhadap penjajah, sungguh penting artinya.
Sultan Agung di akhir cerita membangun padepokan tempat anak-anak belajar agama dan berlatih bela diri. Visinya yang jauh ke depan selalu memancarkan aura optimis pada wajah sultan yang diperankan secara baik oleh Ario Bayu, bahwa meskipun hasilnya akan dinikmati ratusan tahun mendatang, tetaplah menggelorakan semangat perjuangan.
Buktinya, walaupun Indonesia masih di awang-awang saat Sultan Agung berkuasa, penjajah berhasil dikalahkan tiga abad setelah peperangan yang diperintahkan sultan tersebut, yang bersambung dengan peperangan demi peperangan berikutnya, dan selanjutnya dikombinasikan dengan dengan gerakan politik.
Jadi, seandainya film tersebut meledak di pasaran, banyak hal positif yang akan didapat penonton. Sisi hiburannya jelas karena penonton bisa menikmati drama saat Mas Rangsang (Sultan Agung versi remaja, diperankan Marthino Lio) di sela-sela berlatih di sebuah padepokan yang dipimpin Kiai Jejer (diperankan alm. Deddy Sutomo, sehingga film ini sekaligus sebagai tribute untuk aktor kawakan ini), jatuh cinta pada Lembayung, anak lurah di sana (diperankan Putri Marino).