Tulisan di Kompasiana 18/8/2018 yang lalu, yang berjudul "Tentang Karya Seni Instalasi di Bundaran HI yang Viral Itu", sangat menarik untuk disimak. Penulisnya, Muthiah Alhasany, sebetulnya cukup memberikan apresiasi atas karya tersebut. Tapi ia lebih banyak melontarkan kritik, karena instalasi bambu tersebut bisa ditafsirkan berbau pornografi, tempatnya yang merupakan jalur lalu lintas terpadat, dan waktunya yang kurang pas dengan momen Hari Kemerdekaan dan event Asian Games.
Rupanya kritik terhadap hasil karya seniman Joko Avianto itu tidak hanya datang dari tulisan di Kompasiana di atas. Maka biar seimbang rasanya perlu pula dikemukakan apa jawaban seniman kelahiran Cimahi, Jawa Barat, 42 tahun lalu itu. Lagipula reputasi alumni ITB tersebut tidak tanggung-tanggung. Berbagai karyanya sudah menghiasi kota-kota dunia dan ikut dalam beberapa pertunjukan seni level internasional.
Karya-karya Joko Avianto selama ini memang banyak menggunakan jalinan batang atau pohon bambu, tumbuhan yang banyak terdapat di negara kita. Awalnya di Yogyakarta pada event Art Jog 2012, berlanjut di Penang, Malaysia , tahun 2013, di mana 3.000 batang bambu menutupi Balai Kota setempat. Tahun-tahun berikutnya giliran Singapura, Frankfurt (Jerman), dan Yokohama (Jepang) yang dijadikan Joko sebagai tempat menggelar seni instalasi ciptaannya.
Nah, adapun karya Joko yang ditampilkan di Bundaran HI, Jakarta, yang sampai sekarang masih bisa dinikmati publik, berjudul "Getih Getah". Karyanya kali ini berdimensi 12 x 4 x 5,5 meter dan menghabiskan sekitar 1.500 batang bambu. Di samping itu ada 73 buah bambu penyangga sebagai simbol 73 tahun kemerdekaan RI.
Joko tahu bahwa ada yang menfasirkan karyanya sebagai mirip kecebong, bahkan ada pula yang menginterpretasikan mirip posisi orang yang berhubungan intim seperti tulisan Muthia di Kompasiana. Ia tak memusingkan semua itu.
Tapi perlu untuk diungkapkan bahwa "Getah Getih" menurut versi penciptanya, artinya adalah merah putih yang terinspirasi dari pasukan Majapahit. Ceritanya, waktu diserang oleh kapal yang datang dari utara menuju ke selatan, pasukan Majapahit yang bersatu tidak gentar menghadapinya.
Makanya pada bagian ujung "Getah Getih" dibuat seperti ikatan tambang yang melambangkan persatuan. Joko, sebagaimana ditulis di Kompas.com (20/8), membayangkan bahwa atlit kita juga bersatu dan siap bertempur di Asian Games serta tidak gentar seperti Majapahit.
Terjawab sudah bahwa seni instalasi bambu di Bundaran HI tersebut bukan sesuatu yang berbau porno dan momennya berkaitan dengan perayaan ulang tahun kemerdekan dan event Asian Games.
Adapun kritikan terhadap biaya yang menghabiskan anggaran Rp 550 juta, hal ini bersifat relatif. Menurut Joko tidaklah mahal untuk membudayakan seni instalasi bagi masyarakat kita, karena bisa bertahan selama 6 bulan. Padahal kalau di kota di luar negeri dengan empat musim, setelah 3 bulan harus dibongkar.
Barangkali ke depan, pada seni instalasi perlu pula dipampangkan judul dan uraian singkat tentang maksud karya tersebut. Karena "Getah Getih" dipamerkan di ruang terbuka, bukan di ruang pameran yang pengunjung bisa leluasa membaca deskripsi dari suatu karya, maka deskripsinya ditulis dalam ukuran besar yang gampang terbaca bagi orang yang lalu lalang di depan atau di sampingnya.
Bahwa masyarakat punya penfasiran tersendiri, meskipun sudah ada uraian dari si pencipta, itu memang sudah risiko bagi sang seniman. Tapi paling tidak, upaya seniman mendekatkan karyanya pada masyarakat perlu didukung. Toh, kalau seni hanya untuk seni semata-mata yang hanya dimengerti sesama seniman, rasanya mubazir. Masyarakat perlu diedukasi untuk bisa menikmati karya seni bermutu.