Bagi anda yang selama libur lebaran lebih banyak memilih berdiam diri di rumah dan mencoba "membunuh" waktu dengan menonton berita yang ditayangkan beberapa stasiun televisi nasional, mungkin merasa jenuh seperti yang saya alami.
Betapa tidak, sejak seminggu sebelum lebaran, sampai hari ini, laporan perjalanan arus mudik sebelum lebaran dan arus balik setelah lebaran, terlalu banyak mendapat porsi. Bahkan sering diberi tempat sebagai berita yang paling awal ditayangkan, baik di sesi berita pagi, berita siang, berita sore, sampai berita malam.
Ternyata rumus bad news is good news benar adanya. Karena tahun ini terbilang sukses ketimbang tahun-tahun sebelumnya karena kemacetan di jalan yang tidak terlalu parah, kecelakaan yang tidak terlalu banyak, maka penonton cuma penasaran di hari-hari pertama munculnya laporan langsung arus mudik.
Setelah itu, laporan dari beberapa lokasi, yang selalu diulang-ulang lagi pada sesi berita berikutnya, mulai membuat pemirsa jenuh. Untung saja sekarang ada Piala Dunia, sehingga ada alternatif berita olahraga yang jauh lebih mengasyikkan.
Mungkin, sekali lagi ini hanya dugaan, pihak stasiun televisi tidak bisa mengurangi waktu pemberitaannya yang berkaitan dengan arus mudik dan arus balik, karena sudah terikat dengan sponsor yang logonya tercantum pada baju reporter televisi. Biasanya produk yang berkaitan dengan otomotif menjadikan momen seperti itu sebagai media berpromosi.
Mudah-mudahan, karena momen lebaran bersifat rutin tahunan, tahun depan, masing-masing stasiun televisi mampu mengembangkan kreativitasnya, sehingga tidak seperti mengulang kembali program tahun sebelumnya. Tidak selalu harus berlama-lama menyorot stasiun kereta api, bandara, kondisi di jalan tol Cikampek, jalur Puncak, atau Nagrek di lintas selatan Jawa Barat.
Saya yakin televisi yang melakukan siaran secara nasional punya reporter, atau minimal kontributor, di banyak daerah di luar Pulau Jawa. Sekali-sekali kenapa tidak ditayangkan kemacetan parah yang juga terjadi di banyak daerah lain yang para perantaunya pada pulang kampung berlebaran.Itulah yang dialami kalau kita berlebaran di Sumatera Barat. Saudara-saudara saya yang banyak berdomisili di Riau dan Sumatera Utara menyewa sebuah bus pariwisata untuk berlebaran ke Payakumbuh, Sumbar, kota kelahiran saya.
Saya yang kali ini tidak ikut "pulang basamo" hanya memantau dari percakapan melalui grup media sosial saja. Ternyata, kemaren (17/6), saudara-saudara saya tersebut terperangkap kemacetan yang luar biasa sepulang berwisata ke Sawahlunto melalui Danau Singkarak. Jarak sekitar 100 km mereka tempuh sekitar 10 jam, sehingga baru jam 04.00 keesokan harinya sampai di Payakumbuh.
Bayangkan kemacetan yang lebih parah di sekitar destinasi wisata utama Sumbar di Bukittinggi. Hal-hal begini bila mendapat tempat dalam berita berskala nasional, meski kemacetannya bisa berkonotasi negatif, namun bisa dilihat sisi positifnya bahwa wisata di Sumbar itu laku, sehingga memancing rasa penasaran bagi yang belum pernah ke sana untuk berkunjung.
Jalanan di Sumbar tumpah ruah oleh kendaraan berplat B (Jakarta), BG (Sumsel), BL (Lampung), BM (Riau), BH (Jambi), BK (Sumut), dan sebagainya. Sebagian adalah mobil perantau yang pulang basamo, sebagian adalah mobil pelancong. Tentu juga banyak plat BA, tanda kendaraan "tuan rumah" Sumbar.
Atau seperti yang saya alami di Jakarta, kenapa televisi nasional hanya memperlihatkan Jalan Sudirman dan Thamrin yang amat sepi di setiap libur lebaran. Padahal di pinggir Jakarta di mana banyak terdapat komunitas Betawi, keramaian dari warga yang berlebaran sangat terasa.