Suatu ketika saya dari Bandara Soekarno-Hatta pulang ke rumah di Tebet, Jakarta Selatan. Seharusnya saya sedikit bersabar menunggu waktu shalat magrib di area bandara, baru pulang ke rumah. Tapi entah kenapa saya buru-buru pulang, padahal 10 menit lagi sudah magrib, dengan harapan jalanan tidak macet, sehingga sampai di rumah masih ada waktu shalat.
Saya memutuskan keluar tol di Semanggi, meskipun seingat saya tidak ada masjid di pinggir jalan Gatot Subroto yang akan saya lewati. Untung saya melihat ada papan penanda yang menunjukkan arah masjid di belakang Balai Kartini. Alhamdulillah saya masih sempat menunaikan salat magrib di masjid yang nyaman, meski dengan area parkir yang terbatas. Nama masjidnya Baitul Ilmi.
Terlintas di benak saya, di kota-kota provinsi, bahkan juga di kota kabupaten, betapa gampang mencari masjid raya atau masjid agung di jalan protokolnya. Bahkan ada semacam perlombaan terselubung antar kota untuk membangun atau merenovasi agar masjid di kota tersebut menjadi salah satu ikon kota, dan disinggahi oleh pelancong dari luar kota.
Tapi kenapa di ibu kota, khususnya di kawasan termahalnya yang disebut sebagai kawasan segitiga emas, yang melingkupi Jalan Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Rasuna Said, tidak ada masjid yang betul-betul berada di sisi jalan tersebut? Apakah karena masjid tidak punya nilai komersial seperti gedung perkantoran, hotel, mal dan apartemen?
Meskipun demikian, kalau kita mau sedikit berusaha, di cabang jalan akan gampang ketemu masjid. Di kawasan Bendungan Hilir, dekat dengan Jalan Sudirman, ada beberapa masjid. Demikian pula di dalam kawasan Hotel Sahid dan kawasan Kantor Bank Indonesia.
Sedangkan dekat Jalan Gatot Subroto, ya Masjid Baitul Ilmi itu tadi. Di sekitar Jalan Rasuna Said, ada masjid bagus milik kelompok usaha Bakrie. Hanya saja secara fisik masjid-masjid tersebut tersembunyi di balik gedung tinggi yang berada di depannya.
Lalu, sedikit di luar daerah segitiga emas, tapi masih terhitung jalan protokol, ada masjid besar yang betul-betul berada di sisi jalan. Masjid Istiqlal, Masjid Al Azhar, Masjid Sunda Kelapa, dan Masjid Cut Mutia, adalah beberapa contoh masjid yang dimaksud.
Harga tanah yang super mahal diduga menjadi penyebab tergusurnya masjid dari jalan utama di daerah segitiga emas. Mungkin waktu membangun berbagai gedung jangkung di sana, ada yang sampai menggusur masjid yang pernah ada dengan mekanisme tukar guling.
Kondisi terbaik di jalan utama ibu kota yang sering saya lewati, saya temui di Jalan Raya Pasar Minggu. Paling tidak ada empat masjid di pinggir jalan ini, atau sekitar setiap satu kilometer berdiri sebuah masjid. Masjid ini ramai disinggahi mereka yang terjebak macet di perjalanan. Namun problemnya sama dengan banyak masjid lain, yakni lahan parkir yang terbatas.
Kembali ke kawasan segitiga emas, bagi yang bekerja atau pengunjung di gedung-gedung tinggi, bukan berarti mereka sulit untuk beribadah. Bisa dikatakan di semua gedung punya mushala yang relatif nyaman, bahkan mushala di beberapa mal terlihat sangat apik.
Kemudian dalam pelaksanaan shalat jumat, ruang serba guna di banyak gedung tinggi, difungsikan sebagai masjid, lengkap dengan asesorisnya di dekat mimbar tempat khatib berkhotbah.
Kalau melihat betapa padatnya gedung-gedung di kawasan segitiga emas dengan nilai komersial yang begitu tinggi, kondisi seperti sekarang sudah sulit disiasati buat membangun masjid.