Ajang Piala Anniversary yang diadakan dalam rangka merayakan hari ulang tahun PSSI usai sudah. Dalam turnamen tersebut, timnas Indonesia yang dipersiapkan untuk berprestasi di Asian Games mendatang, mendapat kesempatan emas berlaga melawan timnas dari negara yang punya peringkat jauh di atas kita dan sekaligus menjadi negara unggulan dalam cabang sepakbola Asian Games, yakni Uzbekistan, Bahrain, dan Korea Utara.
Timnas U-23 (plus tiga pemain senior sesuai regulasi di Asian Games) telah berjuang habis-habisan pada Piala Anniversary, tapi tak sekalipun meraih kemenangan, bahkan tak satu gol pun yang dapat mereka jaringkan ke gawang lawan. Ironisnya, pada laga terakhir melawan Uzbekistan, Kamis (3/5), peluang emas dari tendangan pinalti yang dieksekusi oleh Septian David Maulana, mampu diblok oleh penjaga gawang Uzbekistan.
Publik sepakbola kita wajar kalau kecewa, mengingat timnas sudah ditangani pelatih top yang dibayar mahal, Luis Milla, sejak lebih dari setahun yang lalu. Milla bukan sembarang pelatih, karena sebelumnya pernah membawa timnas Spanyol U 21 menjadi juara Eropa.
Sayangnya meski sudah setahun lebih menukangi timnas U 23, secara efektif masa berkumpulnya para pemain tidaklah selama itu, karena Milla sangat memberi kesempatan pemain timnas tampil membela klubnya pada pertandingan di Liga 1. Milla berasumsi bahwa dengan jam terbang yang tinggi di klub masing-masing, seharusnya membuat pemain mampu mengembangkan permainannya sehingga akan berdampak positif saat membela timnas.
Tapi semakin sering Milla menyaksikan laga di Liga 1, membawa persoalan lain, yakni pada setiap periode latihan selalu ada beberapa pemain baru dipanggil ke timnas, dan beberapa pemain lama tidak lagi dipanggil. Sebetulnya hal ini wajar saja, namun mengingat pada setiap laga uji coba, bahkan juga di turnamen resmi seperti Sea Games 2017, starting eleven-nya sering berganti-ganti, ada kesan bahwa Milla belum punya pilihan yang mantap. Meskipun Milla menyebutkan hal ini sebagai bagian dari strategi dengan sering melakukan rotasi.
Yang paling jelas adalah untuk posisi striker, sampai saat ini Milla sudah mencoba banyak pemain, namun masih belum jelas pemain mana yang paling oke dipasang sebagai pemain utama.
Lerby Eliandry dan Ilija Spasojevic yang menjadi pilihan Milla di Piala Anniversary, belum memperlihatkan ketajamannya sebagai penyerang yang haus gol. Lalu striker Sriwijaya yang baru dinaturalisasi, Alberto Goncalves, dikabarkan telah dipanggil Milla ke timnas, meskipun usianya sudah "senja" sebagai pesepakbola.
Bisa jadi ada masalah komunikasi antara Milla dengan para pemain. Soalnya, sampai sekarang Milla masih tergantung pada penerjemah saat memberikan instruksi ketika latihan maupun dalam pertandingan. Semoga saja Milla makin giat belajar Bahasa Indonesia agar dalam sisa 4 bulan menjelang Asian Games, suasana latihan jadi semakin nyaman bagi para pemain.
Kembali ke Piala Anniversary, walaupun pada klasemen akhir kita berada di peringkat ke 3 di bawah Bahrain dan Uzbekistan, serta di atas Korea Utara, hal ini dapat kita lihat dari sisi positifnya.
Pertama, Piala Anniversary telah memberikan kesempatan bagi timnas untuk menjajal lawan tangguh yang mewakili peta kekuatan sepakbola Asia, yakni Bahrain (mewakili Asia Barat), Uzbekistan (Asia Tengah) dan Korea Utara (Asia Timur). Selama ini uji coba kebanyakan hanya dengan timnas dari Asia Tenggara, seperti Singapura, Kamboja, atau Timor Leste, yang kekuatannya tidak di atas kita. Momen Piala Anniversary sungguh langka, sehingga tak heran Luis Milla berterima kasih pada PSSI atas terselenggaranya turnamen ini.
Kedua, dugaan gawang kita akan menjadi bulan-bulanan tim lawan, ternyata tidak terbukti (Bahrain pernah "membantai" kita 10-0 di tahun 2012). Bahkan Indonesia menjadi tim yang paling sedikit kebobolan, hanya satu gol kala melawan Bahrain di laga pembuka. Itupun gol yang terjadi di menit-menit awal saat timnas belum panas. Ini tentu menjadi pelajaran berharga, sehingga pada laga berikutnya, timnas sudah fight sejak menit pertama.