Ada pepatah Minang yang populer, yang terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini: "hidup itu berputar seperti roda pedati". Maksudnya tak bisa seseorang itu selamanya berada di atas, akan ada masanya berada di bawah, dan sebaliknya".
Pepatah itulah yang spontan terbersit di benak saya, setelah membaca percakapan di sebuah grup media sosial yang khusus beranggotakan teman-teman saya se-fakultas saat kuliah dulu di salah satu perguruan tinggi negeri.
Ringkasnya, teman saya D lagi menderita sakit kanker stadium lanjut, dan tengah di rawat di sebuah rumah sakit milik pemerintah yang terbesar di negara kita. Di era maraknya media sosial sekarang ini membuat hampir semua teman D dengan sangat cepat sudah mendapat berita tentang penderitaan D.
Fotonya lagi terbaring layu dengan tubuh yang amat kurus, terlihat amat memelas. Apalagi ada dua selang di tubuhnya, masing-masing untuk infus dan untuk air seni. Lalu ada embel-embel pesan dari seorang teman, bahwa D sangat berharap bantuan finansial di samping doa bagi penyembuhannya.
Salah satu keuntungan media sosial adalah dahsyatnya kecepatan dalam mengumpulkan sumbangan. Baru dua hari sudah terkumpul puluhan juta rupiah. Siapa saja yang menyumbang tercantum namanya, sehingga ada aura saling pamer kedermawanan, kecuali beberapa orang yang ditulis sebagai "hamba Allah".
Tapi, media sosial juga sangat keterlaluan sebagai wadah ajang pamer yang telah disinggung di atas, sehingga menurut saya menjadi faktor negatif. Bayangkan, setiap teman yang membesuk D di ruang rawat inapnya, selalu sempat-sempatnya berfoto dengan wajah cerah, sementara D dalam kondisi yang kurang layak untuk berfoto tapi mungkin tak kuasa untuk bilang jangan mengambil foto, apalagi menyebarkannya.
Maka deretan foto-foto sesuai urutan siapa yang duluan membesuk terpampang di grup media sosial. Sebagian disertai catatan laporan pandangan mata bahwa D kondisinya sudah lebih baik ketimbang kemaren, dan meminta semua teman untuk mendoakan kesembuhannya.
Foto dan catatan tersebut boleh juga dibaca sebagai: "Ini lho saya, orang yang sukses dan baik hati, saya memberikan sumbangan besar dan saya juga datang membesuk menunjukkan simpati, tidak sekadar berdoa dari kejauhan saja".
Oke, yang mau pamer biar saja. Tapi saya ingin sedikit bernostalgia mengingat saat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Meskipun tidak akrab, hubungan pertemanan saya dengan D relatif baik.
Kenapa tidak akrab? Karena saya dan D punya perbedaan status sosial yang amat berjarak. Sekitar 35 tahun yang lalu, saat mahasiswa masih jarang yang bawa mobil ke kampus, D telah melakukannya. Sedangkan kebanyakan mahasiswa adalah naik motor butut.
Saya sendiri sering membonceng motor teman atau naik angkot. Bahkan tidak jarang saya berjalan kaki sejauh sekitar 1 km dari tempat kos ke kampus. Parahnya saya tidak punya rasa percaya diri yang tinggi untuk bergaul dengan teman yang punya mobil sendiri.