Di penghujung tahun 2017 yang lalu, sektor pariwisata di Bali sempat terpukul karena musibah meletusnya Gunung Agung. Meskipun sekarang sudah relatif aman, namun karena travel warning oleh beberapa negara belum dicabut, kedatangan turis asing di Bali belum seramai sebelum terjadi bencana.
Untunglah turis domestik dari berbagai penjuru nusantara lumayan membantu para pelaku bisnis yang berkaitan dengan pariwisata di Bali, seperti hotel dan restoran, pengelola obyek wisata, pemandu wisata, transportasi, dan sebagainya.
Demikian pula wisatawan asing dari luar Australia dan Jepang (yang sebelumnya mendominasi), seperti Cina, India, Malaysia dan negara-negara Timur Tengah, juga mulai terlihat seiring dengan terbukanya rute penerbangan langsung ke negara-negara tersebut.
Gambaran seperti itulah yang saya lihat langsung selama 4 hari 3 malam (23/3 sampai 26/3) di Bali, dan juga berdasarkan keterangan pemandu wisata yang menemani saya yang datang bersama dua orang kakak saya. Pemandu wisata ini juga masih terbilang saudara saya dan telah 22 tahun tinggal di Bali.
Bagi saya, perjalanan kali ini sudah kesekian kalinya ke Pulau Dewata tersebut. Meskipun demikian, tak pernah rasanya saya dihinggapi kebosanan. Bahkan boleh dikatakan Bali selalu mengangenkan.
Namun bagi kedua kakak saya, keduanya perempuan dan pensiunan guru di Sumbar dan Riau, adalah pengalaman pertama. Bayangan sang kakak bakal kesulitan mencari tempat shalat dan mencari makanan halal di Bali, ternyata tidak beralasan. Di semua obyek wisata utama, gampang mencari rumah makan halal yang sekaligus menyediakan ruang untuk shalat.
Saat saya mau menunaikan shalat Jumat, kebetulan lagi berada di kawasan Nusa Dua. Nah saya berkesempatan shalat Jumat di Pusat Peribadatan Puja Mandala. Di sini merupakan pusat peribadatan terpadu lintas agama, di mana terdapat masjid, gereja Katolik, gereja Protestan, Pura dan Vihara, yang saling berdekatan.
Jadi, meskipun masyarakat Bali mayoritas pemeluk agama Hindu, namun dalam kesehariannya sangat menghargai pemeluk agama lain. Makanya, tanpa gembar-gembor, sebetulnya pariwisata syariah atau pariwisata halal bukan hal yang asing di Bali dengan sasaran turis Malaysia, Timur Tengah, di samping tentu saja wisatawan dalam negeri.
Meskipun jumlah turis bule belum kembali ke kondisi normal, penampakannya yang khas dengan pakaian ala kadarnya sekadar menutup bagian tubuh yang penting-penting, tetap gampang dicari. Bule di mata orang kita memang dianggap lebih tinggi kelasnya, sehingga banyak turis lokal yang ingin sekali berfoto bareng bule. Bila pintar melakukan pendekatan, bule yang diincar dengan senang hati melayani permintaan "penggemarnya".
Yang menarik bagi saya, meskipun sudah relatif sering ke Bali, selalu ada saja obyek wisata baru atau pengembangan dari obyek wisata yang telah ada. Ini salah hatu hal yang membuat banyak orang tidak bosan bertandang ke Bali. Bule-bule yang mulai jenuh dengan pantai tertentu yang mulai banyak didatangi turis lokal, akan mencari lokasi lain yang dianggap lebih eksotis.
Maka pantai yang relatif baru dieksplorasi pun bermunculan, seperti Pantai Padang-Padang, Pantai Pandawa, Pantai Jerman, di bagian selatan Pulau Bali, atau Pantai Amed di kawasan timur. Namun demikian harus diakui, ada ketimpangan dalam peta pariwisata Bali, dengan menumpuknya obyek wisata di tiga kabupaten: Badung, Gianyar, dan Tabanan, yang terletak di bagian selatan. Seandainya pembangunan bandara di Singaraja telah tuntas, tentu kawasan utara Bali juga akan menggeliat karena menyimpan potensi yang besar.