Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan. Tapi kali ini yang terjaring adalah pejabat dari institusi yang menjadi mitra utama KPK, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ternyata opini wajar tanpa pengeculian (WTP) dari BPK dalam audit laporan keuangan lembaga pemerintah diwarnai penyuapan.
Kompas (28/5) memberitakan bahwa penangkapan dua orang auditor BPK oleh KPK menjadi bukti adanya jual beli opini WTP. Kedua auditor tersebut diduga menerima suap dari pejabat Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk mengubah opini hasil audit laporan keuangan kementrian itu dari wajar dengan pengecualian menjadi WTP.
Tulisan ini tidak bermaksud secara khusus membahas lebih jauh terkait kasus yang menimpa BPK di atas. Namun sesungguhnya dalam praktek audit, faktor integritas auditor masih menjadi sesuatu yang langka di negara kita. Ini tidak hanya terjadi di BPK, tapi juga di perusahaan swasta dan BUMN yang diaudit olah Kantor Akuntan Publik (KAP). Dalam hal ini fungsi KAP sama dengan fungsi BPK terhadap kementrian dan lembaga pemerintah.
Ada KAP kelas ecek-ecek yang seolah-olah sebagai tukang stempel saja atas laporan keuangan yang dibuat perusahaan yang membutuhkan stempel tersebut misalnya untuk mendapatkan kredit dari bank, atau untuk dilaporkan ke pihak regulator seperti koperasi yang harus melapor ke kementrian terkait.
Perusahaan besar berskala nasional, yang telah go public, termasuk BUMN terkemuka, tentu tidak menggunakan jasa KAP ecek-ecek di atas. Ada 4 besar KAP di negara kita yang semuanya berafiliasi ke KAP yang juga merupakan 4 besar secara internasional, yakni Ernst & Young (EY), PWC, KPMG, dan Deloitte. 4 KAP ini mendominasi audit atas perusahaan kelas atas Indonesia.
Sejauh ini memang belum terdengar kasus jual beli opini yang dilakukan KAP besar. Namun bisa saja sebuah BUMN yang sehabis diaudit oleh salah satu dari KAP besar di atas dengan mendapat opini WTP, tapi setelah itu terkuak ada kasus yang menimpa BUMN tersebut, yang tidak terendus saat diaudit KAP. Sebagai contoh, KPK juga telah menangkap pejabat perusahaan Garuda dan PT PAL, masing-masing BUMN di bidang penerbangan dan industri pembuatan kapal.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Ya bisa saja, karena KAP hanya datang mengaudit selama waktu tertentu. Katakanlah untuk mengaudit laporan keuangan tahun 2016, biasanya baru diaudit dari bulan Oktober 2016 sampai terbit laporan audit (yang di dalamnya tercantum opini) di sekitar bulan Februari 2017. Laporan keuangan yang telah diaudit tersebut akan dipertanggungjawabkan pada forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang biasanya berlangsung di bulan Maret-April.
Lagi pula KAP bekerja berdasarkan sampel, dan juga mempertimbangkan hasil audit dari auditor intern perusahaan dalam menentukan besarnya sampel yang akan diperiksa. Dalam hubungannya dengan manajemen perusahaan yang diaudit, pihak KAP berusaha membangun komunikasi yang akrab, karena KAP berharap dapat kontrak lagi tahun di tahun-tahun berikutnya.
Itulah beda KAP dengan BPK. KAP dibayar oleh klien dan ada batasan maksimal hanya boleh mengaudit perusahaan yang sama selama lima tahun secara berturut-turut. Sedangkan BPK dibayar dari anggaran negara dan tidak ada batasan lamanya mengaudit. Jadi seharusnya BPK bisa lebih tegas dalam berhadapan dengan instansi yang diaudit.
Namun justru bisa pula karena auditor BPK tidak dibayar per proyek audit, tapi hanya dari gaji bulanan, membuka peluang untuk oknum pemeriksa dan yang diperiksa untuk main mata. Jelaslah, faktor integritas auditor jadi persyaratan mutlak untuk terciptanya opini yang obyektif. Apakah auditor di KAP besar lebih berintegritas ketimbang auditor BPK? Tidak gampang menjawabnya. Hanya gaji dan bonus di KAP yang bonafid, lebih besar dari gaji staf auditor BPK.
Bila sebuah perusahaan betul-betul ingin mendapat manfaat dari hasil audit, biarkan auditor bekerja secara independen. Ini kan mirip dengan pasien yang membayar dokter untuk mendiagnosa penyakitnya. Dengan diagnosa yang tepat, resep obat yang cespleng pun bisa didapat. Masalahnya, ada pula pasien yang hanya butuh "surat keterangan sehat" dan berani menyogok dokter untuk dapat surat dimaksud.