Konon, salah satu kelemahan orang Indonesia adalah kurang berani menyampaikan pendapat, apalagi kalau berbeda pendapat dengan pihak yang lebih tinggi kedudukannya atau berbeda dengan pendapat kelompok mayoritas. Makanya, di banyak perusahaan di negara kita, para staf lebih sering menerima begitu saja apa yang dikatakan atasannya.
Dengan kondisi seperti itu, banyak perusahaan yang lebih suka minta bantuan kepada pihak konsultan untuk menyusun perencanaan jangka panjang atau hal lain yang bersifat strategis. Bahkan bila anggaran mencukupi, perusahaan tidak ragu membayar mahal pada konsultan asing yang sudah punya nama besar.
Padahal konsultan manapun juga, ketika menerima penugasan dari sebuah perusahaan, sebetulnya juga belajar dulu kepada staf yang orang dalam perusahaan, dengan dalih mengadakan focus group discussion. Jadi, rekomendasi yang dipresentasikan konsultan, bisa jadi gabungan dari pendapat orang dalam juga dengan modifikasi seperlunya.
Namun bila misalnya rekomendasi yang sama muncul dari staf internal perusahaan, belum tentu bisa diterima oleh bos-bos di perusahaan tersebut. Ada semacam under estimate dari atasan terhadap kemampuan bawahannya. Makanya staf jadi malas ngomong, mending membebek saja.
Anehnya, kalau orang kita bekerja di perusahaan asing, termasuk perusahaan asing yang membuka cabang di Indonesia, mereka terlatih bersikap berani. Masalahnya kondisi atau budaya kerja di perusahaan tersebut menuntut mereka untuk bersikap seperti itu.
Begitu mereka dibajak oleh perusahaan lokal, akan terlihat bahwa eks pekerja perusahaan asing lebih berani dalam menyampaikan pendapat. Tapi lama-lama, yang eks pekerja perusahaan asing tersebut akan menyadari bahwa ada pakem yang tidak bisa mereka abaikan, yakni keberanian berpendapat itu harus dalam bingkai tata krama birokrasi. Berbicara ke atasan sangat berbeda "seni"-nya dibanding ke rekan yang setaragrade-nya. Sedangkan kalau ke bawahan bolehlah memakai style masing-masing.
Memang budaya untuk tidak banyak berbicara, kalau ditelusuri lebih jauh, telah tertanam sejak di bangku sekolah. Anak-anak kita dididik dengan memberi porsi yang banyak pada hafalan, bukan mengasah argumentasi. Anak yang patuh lebih disukai guru ketimbang anak yang kreatif yang terkesan banyak ulah.
Budaya ini berlanjut pada bangku kuliah. Ketika dosen menantang mahasiswanya untuk mengajukan pertanyaan atau komentar yang bersifat spontan, amat jarang ada tanggapan. Kecuali kalau masing-masing mahasiswa diwajibkan memberikan tanggapan karena akan berpengaruh pada nilai mata kuliah, baru mahasiswa terpacu untuk menyampaikan pendapat.
Kebiasaan tersebut terbawa saat mulai bekerja. Saat rapat formal, peserta rapat lebih banyak mendengar pengarahan dari pimpinan saja. Jarang sekali yang berinisiatif menyampaikan tanggapan, kecuali bila pimpinan rapat menunjuk nama tertentu untuk berbicara.
Memang dalam dunia kerja, yang paling penting tentu saja keberhasilan dalam melaksanakan tugas, yang lazimnya tergambar dari tercapai atau terlampauinya target yang diberikan atasan. Tapi semakin tinggi jabatan, tidak cukup sekadar mencapai target saja, namun perlu dibarengi dengan kemampuan berkomunikasi.
Kemampuan berkomunikasi tersebut antara lain terlihat dari keberanian menyampaikan pertanyaan atau tanggapan di forum yang bersifat formal. Termasuk pula kemampuan dalam menyampaikan ide kreatif atau solusi dari suatu masalah.