Ada berita bahwa pemerintah berencana untuk menaikkan pajak bagi tanah yang menganggur, sebagaimana yang disiarkan Kompas TV Rabu (25/1) yang lalu. Tentunya ini berita bagus bagi masyarakat umum, meskipun tentu bakal ada pihak yang tidak senang.
Kaum spekulan pasti tidak suka dengan rencana tersebut. Mereka adalah para pemodal yang main borong tanah yang dibeli saat murah, lalu membiarkannya bertahun-tahun sampai harga naik puluhan kali lipat.
Itulah yang terjadi kalau kita berkeliling di wilayah pinggiran kota besar, melihat tanah yang hanya ditumbuhi semak belukar. Sebagian dipasangi papan yang bertuliskan pengumuman nama pemilik tanah. Sebagian lagi dibiarkan seperti tanah tidak bertuan saja, tapi diduga sudah dipunyai oleh pemodal, bukan lagi dimiliki penduduk asli setempat.
Bagi yang memasang pengumuman sebagai tanda kepemilikan tanah, tentu tidak diniatkan untuk pamer kekayaan. Masalahnya, kepastian hukum kepemilikan tanah di negara kita kadang-kadang masih bermasalah. Tanah yang sama bisa punya beberapa sertifikat kepemilikan. Tak heran kasus gugatan atau sengketa atas tanah, relatif sering terjadi.
Bayangkan kalau praktek main borong tanah, dan membiarkannya tidak produktif, berkembang subur, maka masyarakat banyak akan rugi. Tanah semakin langka, sehingga harga naik tidak terkendali. Dalam kondisi begini, hukum ekonomi berlaku, saat permintaan naik, sementara penawaran tidak bertambah, harga cenderung naik.
Coba kalau tanah yang tidak produktif tersebut dimanfaatkan, pasti mendatangkan lapangan pekerjaan dan ada aliran pendapatan buat orang yang diajak terlibat. Misalnya, kalau dibangun rumah di atas tanah tersebut, pasti toko bahan bangunan akan kecipratan rezeki, demikian pula para tukang bangunan.
Bisa pula dijadikan kebun, area peternakan, dan sebagainya yang pasti lebih bermanfaat lagi. Hanya saja, kalau di daerah perkotaan sampai ke pinggiran sekalipun, kecil kemungkinan tanah dimanfaatkan untuk pertanian. Sepertinya tanah yang dibiarkan terbengkalai itu, beberapa tahun kemudian sudah dibangun jadi perumahan, toko, atau kantor.
Meskipun pada akhirnya tanah yang menganggur pasti akan dipakai juga, tindakan menyengajakan tanah menganggur sampai beberapa tahun, tetap dipandang dari sisi pemerataan kesejahteraan rakyat, hal yang tidak kondusif. Bahkan bisa dilihat sebagai kemubaziran dan kesombongan.
Padahal, kalau kita belajar dasar-dasar ilmu ekonomi, disebutkan bahwa tanah adalah salah satu faktor produksi. Artinya harus difungsikan secara produktif. Berbeda dengan emas yang memang secara teoritis salah satu fungsinya adalah untuk menyimpan atau menabung.
Namun dalam perkembangannya tanah dipandang seperti emas yakni sebagai instrumen penyimpanan uang alias investasi. Bahkan kenaikan harganya jauh berlipat ketimbang emas. Akibatnya kesenjangan antara segelintir orang yang punya tanah luas dengan sebahagian besar masyarakat yang punya tanah amat kecil, bahkan banyak yang tidak punya, semakin melebar.
Meskipun sebetulnya sudah ada regulasi yang membatasi luas maksimum tanah (yang bersifat kumulatif) yang diizinkan bagi seseorang, tapi dalam praktek sulit diawasi. Bahkan tidak sedikit pejabat yang seharusnya memahami regulasi, yang dalam masa dinasnya beberapa kali pindah kota, di setiap kota ia punya sebidang tanah.