Jelek-jelek begini saya pernah cukup lama menduduki jabatan kepala divisi di sebuah perusahaan berskala nasional. Memang, jabatan itu saya sandang sampai masa pensiun datang, dalam arti saya tidak pernah meraih jabatan yang lebih tinggi lagi yakni kursi direktur. Tapi jika dibandingkan dengan banyak lapisan jabatan di bawahnya, apa yang saya capai, tanpa bermaksud membangga-banggakan, sangat pantas untuk disyukuri.
Oke, topik tulisan saya kali ini sama sekali tidak berkaitan dengan adu-adu tinggi jabatan. Hanya sebagai anak kampung yang terbawa nasib menjadi penduduk ibukota Jakarta, saya punya permasalahan tersendiri terkait gaya dan asesoris yang melekat dengan yang namanya jabatan. Bagaimanapun juga, teramat sulit bagi saya untuk menyembunyikan gaya asli saya sebagai anak kampung, yang sering tidak matching dengan jabatan yang disandang.
Masalah tersebut di atas amat saya pahami, sehingga di awal-awal saya dipercaya mengepalai sebuah divisi dengan seratusan orang anak buah di kantor pusat sebuah BUMN, saya menerima saran beberapa teman baik saya, agar saya mengganti pakaian, dasi, dan atribut lainnya termasuk jenis parfum yang saya pakai, agar sesuai dengan kelas seorang kepala divisi.
Ada barangkali selama satu bulan saya merasa "gagah" dengan segala atribut baru tersebut , seolah ingin menunjukkan kepada orang lain, ini lho saya, sekarang sudah jadi kepala divisi. Selama satu bulan itu pula saya "haramkan" naik mikrolet, apalagi naik ojek. Malu dong kalau ketahuan teman kantor atau anak buah.
Tapi memasuki bulan kedua saya mulai goyah, saya capek juga menjadi saya yang bukan saya. Lalu saya tidak begitu peduli lagi dengan berbagai gaya, kalau saya sendiri menjadi tidak nyaman karena itu. Gak masalah kalau dibilang orang lain gaya saya kampungan, terlalu sederhana, dan sebagainya.
Akhirnya, kalau lagi berangkat ke kantor saat malas membawa mobil, dan taksi kebetulan susah didapatkan, sementara di depan mata ada mikrolet kosong lewat, ya saya cuek saja naik. Meski di halte berikutnya ada anak buah saya yang ikut naik, saya merasa biasa saja untuk mengajak ia ngobrol ngalor ngidul. Sama sekali saya merasa tidak turun derajat gara-gara itu, dan senyum-senyum saja kalau ada yang ngeledek, sambil melakukan serangan balasan: "emang masalah buat elo?".
Ada untungnya juga anak buah tahu kalau saya tidak memilih-milih jenis angkutan. Suatu kali, saat ada demonstrasi besar-besaran di jalan protokol di depan kantor, beberapa anak buah tanpa ragu menawarkan saya untuk membonceng motor yang dibawanya. Saya pilih motor anak buah yang arah rumahnya melewati kawasan saya tinggal. Bayangkan bila saya memilih pakai mobil pribadi atau memanggil taksi, bisa tengah malam baru sampai di rumah.
Toh, akhirnya teman-teman juga bisa memaklumi. Saya hanya ingin melakukan sesuatu sesuai selera saya dan dan sesuai asas kepraktisan. Tentunya juga memperhatikan kepantasan secara umum, bukan secara jabatan yang cenderung eksklusif. Jadi, tidak ada niat untuk sok melarat, atau memupuk tabungan sambil menyembunyikan kekayaan. Lagi pula saya amat menyadari, jabatan bukan sesuatu yang abadi. Kapan pun kalau jabatan itu copot, saya tidak akan repot menurunkan gaya hidup.
Saya sama sekali tidak kecewa saat berkunjung ke kantor cabang, saat menjemput saya dan beberapa staf pendamping di terminal kedatangan sebuah bandara, sang kepala cabang salah menduga bahwa seorang staf saya yang bergaya parlente adalah kepala divisi. Gak masalah, meski akhirnya si staf terpaksa menjelaskan siapa yang kepala divisi sesungguhnya. Saya juga tidak merasa minder kalau ada kepala cabang yang mengajak main golf, dengan berterus terang mengatakan bahwa saya tidak bermain golf.
Nah, kalau begitu, untuk menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan saya di atas: "Naik Jabatan, Haruskah Ganti Gaya?", menurut pendapat saya, semata-mata soal pilihan saja. Bagi yang meng-up grade gaya hidupnya, dan merasa nyaman serta bisa beradaptasi dengan itu, rasanya sah-sah saja, sepanjang menyadari bahwa yang namanya jabatan, lambat atau cepat, akan berakhir. Saya teringat beberapa teman saya yang kecanduan bermain golf, di saat pensiun seperti mengemis minta diajak main ke teman-temannya yang masih menjabat.
Saya sendiri cenderung memilih untuk tidak merubah gaya. Kalaupun ada perubahan, sifatnya minor, dan tidak kentara. Alasannya, ya , karena saya merasa nyaman dan praktis bergaya seperti itu. Kalaupun saya tersisih dari pergaulan di tingkat elit pejabat, gara-gara gaya yang tidak klop dengan mereka, saya merasa gembira saja mengelompok bercanda dengan karyawan level bawah, bahkan dengan office boy.